Perencanaan Desain Pembelajaran






PENDAHULUAN


A. Latar Belakang
Kehidupan seseorang pada umumnya penuh dorongan dan minat untuk mencapai atau memiliki sesuatu. Perilaku seseorang dan munculnya berbagai kebutuhan disebabkan oleh berbagai dorongan dan minat. Dorongan-dorongan dan minat seseorang itu terpenuhi merupakan dasar dari pengalaman emosionalnya.
Seorang individu dalam merespon sesuatu lebih banyak diarahkan oleh penalaran dan pertimbangan-pertimbangan objektif. Akan tetapi pada saat-saat tertentu di dalam kehidupannya, dorongan emosional banyak campur tangan dan mempengaruhi pemikiran-pemikiran dan tingkah lakunya. Oleh karena itu untuk memahami anak / remaja, perlu mengetahui apa yang ia lakukan dan pikirkan. Disamping itu hal yang lebih penting untuk diketahui adalah apa yang mereka rasakan. Jadi makin banyak kita memahami dunia anak/remaja , makin perlu kita melihat ke dalam kehidupan emosionalnya dan memahami perasaan-perasaannya, baik perasaan tentang dirinya sendiri maupun tentang orang lain. Gejala-gejala emosional seperti marah, takut, bangga dan rasa malu, cinta dan benci, harapan-harapan dan rasa putus asa, perlu dicermati dan difahami dengan baik agar proses pembelajaran pendidikan pada anak / remaja dapat berjalan sesuai
dengan yang diharapkan.
B. Tujuan :

1. Sebagai salah satu tugas mata kuliah Perencanaan Desain Pembelajaran
2. Dapat bermanfaat bagi para pembaca pada umumnya.











PEMBAHASAN

A.      Konsep Dasar Emosional.
Kecerdassan emosional pertama kali dilontarkan pada tahun 1990 oleh psikolog Peter Salovey dan John Mayer untuk mnerangkan kualitas-kualitas emosional yang nampak penting bagi keberhasilan, antara lain adalah empati, mengungkapkan dan memahami perasaan, mengendalikan amarah, kemandirian, kemampuan menyesuaikan diri, diskusi, kemampuan memecahkan masalah antar pribadi, ketekunan, kesetiakawanan, keramahan dan sikap hormat.
Emotional Quotient (EQ) merupakan factor penting dalam perkambangan intelektual anak, hal ini sejalan dengan pandangan Semiawan bahwa stimulasi intelektual sangat dipengaruhi oleh keterlibatan emosional, bahkan emosi juga amat menentukan perkembangan intelektual secara bertahap[1] artinya secara tibal balik factor kognitif juga terlibat dalam perkembangan emosional.pertanyaannya adalah apakah EQ itu? Dari berbagai literature yang dikaji para ahli memberikan pengertian yang sama. Kaphin dan Sadock (1992)[2] misalnya seorang psikiater, mengemukakan bahwa emosi sebagai keadaan perasaan yang kompleks yang mengandung komponen kejiwaan, badan dan perilaku, yang berkaitan dengan afek (affect) dan suasana perasaan/ suasana hati (mood), sementara Goleman (1995), seorang psikolog, mendefinisikan emosi adalah perasaan dan pikiran khas; suatu keadaan biologis dan psikologis; suatu rentang kecenderungan-kecenderungan untuk bertindak.[3] Silverman (1986), seorang psikolog, menyatakan bahwa emosi adalh perilaku yang terutama dipengaruhi oleh tanggapan mendalam yang terkondisikan.[4]
Dari beberapa pendapat dapat dikatakan bahwa kecerdasan emosional menuntut diri untuk belajar mengakui dan menghargai perasaan diri sendiri dan orang lain dan untuk menanggapinya dengan tepat, menerapkan dengan efektif energi emosi dalam kehidupan dan pekerjaan sehari-hari. 3 (tiga) unsur penting kecerdasan emosional terdiri dari : kecakapan pribadi (mengelola diri sendiri); kecakapan sosial (menangani suatu hubungan) dan keterampilan sosial (kepandaian menggugah tanggapan yang dikehendaki pada orang lain).
B.      EQ versus IQ
1.       IQ (Intellegence Quotient)
Para ilmuwan mengungkapkan bahwa IQ dapat diukur dengan menggunakan uji-uji kecerdasan standar, misalnya Wechsler intelligence scales,yang mengukur baik kemampuan verbal maupun nonverbal, termasuk ingatan perbendaharaan kata, wawasan pemecahan masalah, abstraksi logika, persepsi, pengolahan informasi, dan keterampilan motorik visual. IQ atau juga bisa disebut kecerdasan intelektual, inilah kecerdasan yang paling banyak di dengar oleh kita. IQ adalah kecerdasan yang dimiliki oleh otak manusia yang bisa melakukan beberapa kemampuan, seperti kemampuan menalar, merencanakan, memecahkan masalah, berpikir abstrak, memahami gagasan, menggunakan bahasa, dan belajar.
2.        EQ (Emosional Quotient)
Kecerdasan EQ atau Emosional Quotient. Daniel Golemen, dalam bukunya Emotional Intelligence (1994) menyatakan bahwa “kontribusi IQ bagi keberhasilan seseorang hanya sekitar 20 % dan sisanya yang 80 % ditentukan oleh serumpun faktor-faktor yang disebut Kecerdasan Emosional. Dari nama teknik itu ada yang berpendapat bahwa kalau IQ mengangkat fungsi pikiran, EQ mengangkat fungsi perasaan. Orang yang ber-EQ tinggi akan berupaya menciptakan keseimbangan dalam dirinya; bisa mengusahakan kebahagian dari dalam dirinya sendiri dan bisa mengubah sesuatu yang buruk menjadi sesuatu yang positif dan bermanfaat.
Goleman (1996) menemukan bahwa akal (mind) manusia pada hakikatnya dapat dibagi menjadi dua jenis kehidupan mental, yaitu yang terutama ditandai oleh aspek rasio, yang bersumber dari kepala (head) dan diukur oleh IQ, dan emosi yang bersumber dari hati sanubari (heart) seseorang yang diukur dengan EQ.Keterampilan EQ  bukanlah lawan keterampilan IQ atau keterampilan kognitif, namun keduanya beriteraksi secara dinamis, baik pada tingkatan konseptual maupun di dunia nyata.      
C.      Anatomi Saraf Emosi
Siapa atau apa yang bertanggung jawab atas emosi kita? Jawabannya adalah sistem limbik , sistem struktur saraf di otak yang terlibat dalam pengendalian perilaku emosional. Salah satu bagian dari sistem limbik adalah amygdale , sekelompok badan sel saraf di otak. Calledthe pusat emosional otak, hippocampus berperan dalam ingatan dan penafsiran persepsi, amygdale yang bertugas peran kenangan pengolahan dan pengendalian emosi. 

Ada dua jenis otak: otak rasional dan otak emosional . Kedua jenis otak bekerja sama, pengolahan informasi yang sama. Otak emosional beroperasi lebih cepat, dalam pikiran bawah sadar, menghasilkan emosi, yang kita alami dalam pikiran sadar. Karena otak emosional bereaksi lebih cepat daripada otak rasional, kita dapat menemukan diri kita bertindak sebelum mendahului pikiran-kita bertindak emosional! 

Mengapa kita bertindak emosional?, ketika kita bertindak emosional, persepsi kita pergi langsung ke amygdale-emosional-tengah bukan pertama pergi ke neokorteks, yang merupakan bagian otak di mana kita berpikir dan proses pikiran. Pada dasarnya, kita merasa dan bertindak sebelum kita berpikir.

D.      Menjadi Orang Tua ber-EQ Tinggi.
Para peneliti menemukan ada tiga gaya umum bagaimana orang tua menjalankan peranannya sebagai orang tua, yaitu otoriter, permisif, dan otoritatif. Dalam bukunya Raising a Responsible Child, Elizabeth Ellis menulis banyak penelitian menyatakan bahwa anak-anak yang berasal dari  keluarga yang menerapkan keotoriteran dan pengawasan ketat cenderung tidak bahagia, penyendiri dan sulit untuk mempercayai  orang lain. Sebaliknya, orang tua permisif, berusaha menerima dan mendidik sebaik mungkin, tetapi cenderung sangat pasif ketika sampai ke masalah penetapan batas-batas atau menanggapi ketidakpatuhan.
Orang tua otoritatif, berbeda dengan bak orang tua otoriter maupun orang tua permisif, berusaha menyeimbangkan   antara batas-batas lingkungan rumah yang baik untuk tumbuh. Orang tua yang otoritatif menghargai kemandirian anaknya, tetapi menuntut mereka memenuhi standar tanggung jawab yang tinggi. Orang tua yang otoritatif dianggap mempunyai gaya yang lebih mungkin menghasilkan anak yang percaya diri, imajinatif, mandiri, mudah beradaptasi, dan disukai banyak orang yakni anak dengan kecerdasan emosional yang tinggi.
E.       Emosi dari Segi Moral
William Dammon, seorang professor Amerika dalam  perkembangan moral anak-anak dan remaja menyatakan anak-anak harus mendapatkan keterampilan emosional sebagai berikut:
1.       Mereka harus mengikuti dan memahami perbedaan antara perilaku yang baik dan buruk serta mengembangkan kebiasaan dalam hal perbuatan yang konsisten dengan sesuatu yang dianggap baik;
2.       Mereka harus mengembangkan kepedulian, perhatian dan rasa tanggung jawab atas kesejahteraan dan hak-hak orang lain, yang diungkapkan melalui sikap peduli, dermawan, ramah dan pemaaf;
3.       Mereka harus merasakan reaksi emosi negative seperti malu, bersalah, marah, takut dan rendah diri bila melanggar aturan moral.

Menurut William Damon, perkembangan moral anak tidak dapat dipisahkan dengan emosi seseorang. Ada dua kelompok emosi, yakni (a) emosi negative dan (b) emosi positif. Emosi negative sifatnya dapat memotivasi anak-anak untuk belajar dan mempraktikkan perilaku prososial, termaduk (1)takut dihukum (2) kekhawatiran tidak diterima oleh orang lain, (3) rasa bersalah bila gagal memenuhi harapan seseorang, (4) malu bila ketahuan berbuat sesuatu yang tidak dapat diterima oleh orang lain. Sementara emosi positif akan membentuk moral anak adalah empati dan apa yang disebut naluri pengasuhan, yang meliputi kemampuan untuk menyayang.

F.       Empati dan Kepedulian kepada Anak
Para psikolog perkembangan menegaskan bahwa ada dua komponen empati, : 1. Reaksi emosi kepada orang lain yang normalnya berkembang dalam enam tahun pertama kehiidupan anak-anak, dan 2. Reaksi kognitif yang menentukan sampai sejauh mana anak-anak ketika sudah lebih besar mampu memandang sesuatu dari sudut pandang atau perspektif orang lain.
Kajujuran adalah factor penting yang harus diperhatikan dalam mendidik anak.dalam mengajarkan kejujuran kepada anak dapat dilakukan dengan jalan:
1. Ajarkan nilai kejujuran kepada anak sejak mereka masih muda dan konsisten dengan pesan anda waktu usia mereka bertambah. Pemahaman anak mengenai kejujuran bias  berubah, tetapi pemahaman anda jangan berubah.
 2. Anda dapat menjadikan kejujuran dan etika sebagai bahan perbincangan sejak anak masuk sangat mudah dengan memilihkan buku-buku dan video untuk dinikmati bersama anak, memainkan permainan kepercayaan, dan memahami berubahnya kebutuhan anak atas privasi
G.      Mengembangkan Empati dan Kepedulian
Bayi dibawah usia satu tahun sudah mamiliki empati emosi. Bayi akan ikut menangis jika melihat bayi lain menangis, ini karena ia belum mampu membedakan diri sendiri dengan dunianya, ia menafsirkan rasa tetekan bayi lain sebagai rasa tertekannya sendiri.
Usia satu- dua tahunadalah tahapan empati kedua, dimana mereka dapat melihat bahwa kesusahan orang lain bukan kesusahan mereka sendiri
Usia enam tahun dimulai tahapan empati kognitif, kemampuan memandang sesuatu dari sudut pandng orang lain dan berbuat sesuai dengan itu.
Lawrence E.shapiro, menawarkan kegiatan yang mengandung empati, yakni: 1. Bekerja di dapur umuM dalam suatu kegiatan social 2. Ikut kerja bakti di lingkungan rumah 3. Membantu mengajari anak-anak yang lebih kecil 4. Membuat boneka bagi anak yang sakit 5. Begabung dengan organisasi penyelamat spesies terancam punah 6. Menghibur orang jomp di panti werda.


H.      Keterampilan EQ yang Harus Diingat
Menurut beberapa penulis buku diantaranya Mary, Ann, Mason, dan Paul Ekman mengatakan bahwa sebagai orang tua harus mengajari anak menghormati privasi mereka; mereka juga harus menghormati privasi anak, termasuk yang sudah remaja. Hal yang perlu diingat dalam EQ dalam hal ini adalah:
1. Ajarkan nilai kejujuran kepada anak sejak mereka masih muda dan konsisten dengan pesan anda waktu usia mereka bertambah. Pemahaman anak mengenai kejujuran bias  berubah, tetapi pemahaman anda jangan berubah.
 2. Anda dapat menjadikan kejujuran dan etika sebagai bahan perbincangan sejak anak masuk sangat mudah dengan memilihkan buku-buku dan video untuk dinikmati bersama anak, memainkan permainan kepercayaan, dan memahami berubahnya kebutuhan anak atas privasi.
I.         Emosi Moral Negatif: Rasa Malu dan Rasa Bersalah
Malu didefinisikan sebagai salah satu bentuk rasa rendah diri, eksterm yang terjadi ketika anak-anak merasa gagal memenuhi harapan orang lain dalam bertindak. Emosi negative rasa malu dan rasa bersalah dapat  dimanfaatkan secara konstruktif untuk membentuk perilaku moral anak.
Hal-hal yang perlu diperhatikan dari aspek EQ dalam hal ini adalah 1. Rasa malu dan rasa bersalah bukan aspek emosi yang harus dijauhi. Apabila digunakan dengan tepat, emosi-emosi ini penting bagi orang tua untuk mengajarkan nilai-nilai moral pada ank;  2. Penggunaan rasa malu dan rasa bersalah secara tepat akan bergantung pada temperamen anak anda, tetapi penggunaan emosi ini dapat mengintregasikan kembali anak anda dalm dukungan keluarga.

J.       Aplikasi Pertimbangan Faktor Emosional Anak dalam Perencanaan Pembelajaran
Emotional Quotient (EQ) merupakan factor penting dalam perkembangan intelektual anak, hal ini sajalan dengan pandangan Semiawan bahwa stimulasi intelektual sangan dipengaruhi oleh keterlibatan emosional, bahkan emosi juga amat menentukan perkembangan intelektual anak secara bertahap[5] artinya secara timbal balik factor kognitif juga terlibat dalam perkembangan emosional. Dengan demikian, antara IQ dengan EQ tidak dapat dipisahkna perannya satu sama lain.
Perkembangan emosional pada anak, juga akan berjalan dengan perkembangan moral. Hal ini mendorong orang tua atau guru untuk berupaya mengajarkan moral yang baik  pada anak melalui pemberian contoh atau teladan yang baik.
Perkembangan moral menurut Durkheim (dalam Djuretna, 1994) berkembang karena kondisi social. [6]oleh karena itu moral masyarakat  berkuasa terhadap individu.menurut Driyarkara (1996), kesadaran moral adalah kesadaran tentang diri sendiri, dimana kita melihat diri sendiri sedang berhadapan dengan sesuatu yang baik dan yang buruk. Orang yang memiliki kesadaran moral, berarti dia mempunyai kemampuan untuk memilih atau mempertimbangkan dan membedakan antara sesuatu yang baik dan sesuatu yang buruk, atau bisa juga antara yang haram dengan yang halal.
Disamping perkembangan moral, mengajarkan emosional anak juga dipengaruhi oleh perkembangan sosialnya.  Perkembangan social menurut Hurlock (1978) bahwa keberadaan anak dalam kehidupan social dibagi dua: 1. Anak yang introvert yaitu analk yang memikirkan dirinya sendiri. 2. Anak yang ekstrovert yang selalu mengarahkan perhatiannya di luar dirinya. Sifat pertama yaitu sifat individual untuk memenuhi kebutuhannya jika tidak dapat terpenuhi dengan cara yang baik ia akan melakuakn berbagai cara tanpa memikirkan aspek hokum dan tanpa memikirkan orang lain. Dengan demikian introvert berpotensi melakukan hal-hal yang meresahkan masyarakat berupa kenakaln remaja bagi anak muda pencurian, pemerkosaan, perampokan dll.
Perbuatan anak yang tidak baik, dapat timbul karena kondisi dan proses social yang sama, yang menghasilkan perlaku social yang lainnya.[7]tinggi rendahnya angka kejahatan mempunyai hubungan erat dengan bentuk dari organisasi social, yang terdiri atas proses beberapa aspek kehidupan manusia di dalam masyarakat,yaitu ; a. mobolitas social b. persaingan dan pertentangan kebudayaan c. ideology politik d. ekonomi e. kuantitas penduduk f. agama g. pendapatan dan pekerjaan.
Kegiatan terpuji ataupun kejahatan didorong ole factor eksternal yang telah tersebut diatas dan fakor internal yaitu factor yang berasal dari diri sendiri. Factor internal dibagi menjadi factor yang bersifat umum dan khusus. Dan disini akan diuraikan factor yang bersifat khusus saja, yaitu:
a.       Sakit jiwa
Orang yang terkena sakit jiwa mempunyai kecenderungan untuk bersikap antisocial.
b.       Perkembangan emosional
Masalah emosional erat hubungannya dengan masalah social yang dapat mendorong seseorang untuk berbuat menyimp[ang. Hal ini terjadi karena diakui bahwa seseorang dalam perkembangan kepribadiannya tidak dapt dilepaskan dengan perkembangan emosional.
c.        Perkembangan mental
Penyebab kejahatan moral dapat terjadi karena rendahnya mental. Rendhnya mental ini ada hubungannya dengan daya intelegensia. Jika seseorang mempunyai daya intelegensia yang tajam dan dapat menilai realitas, ia semakin mudah untuk menyesuaikan diri dengan masyarakat.
d.       Anomi
Masa anomi akan terjadi jika seseorang telah meninggalkan kebiasaan lama, sementara hal-hal baru belum dikuasai atau belum didapatnya, sehingga orang kehilangan pegangan, danpada saat inilah ia akan merasakan suatu krisis, rawan dan mudah terpengaruh. Oleh karena itu, anomi dapat dianggap sebagai salah satu penyebab tmbul kejahtan pada anak. Berdasarkan hal ini seyogyanya mendidik anak dalam emosi perlu diperhatikan aspek anomi ini.  
Dalam kaitannya dengan emosi anak / remaja awal yang cenderung banyak melamun dan sulit diterka, maka satu-satunya hal yang dapat dilakukan oleh guru adalah konsisten dalam pengelolaan kelas dan memperlakukan siswa seperti orang dewasa yang penuh tanggungjawab.Guru-guru dapat membantu mereka yang bertingkah kasar dengan jalan mencapai keberhasilan dalam pekerjaan / tugas-tugas sekolah sehingga mereka menjadi anak yang lebih tenang dan lebuh mudah di tangani. Salah satu yang mendasar yaitu dengan cara mendorong mereka untuk bersaing dengan diri sendiri.
Apabila ada ledakan-ledakan kemarahan sebaiknya kita memperkecil ledakan emosi tersebut, misalnya dengan jalan tindakan yang bijaksana dan lemah lembut, mengubah pokok pembicaraan dan memulai aktivitas baru. Jika kemarahan siswa tidak juga reda, guru dapat minta bantuan kepada petugas bimbingan dan konseling.
Reaksi yang sering terjadi pada diri remaja terhadap temuan-temuan mereka bahwa kesalahan orang dewasa merupakan tantangan terhadap otoritas orang dewasa. Pendidik terperangkap oleh kemampuan siswa yang baru dalam menentukan / menemukan dan mengangkat ke permukaan tentang kelemahan-kelemahan orang dewasa. Satu cara untuk mengatasinya adalah meminta siswa mendiskusikan atau menulis tentang perasaan-perasaan mereka yang negatif. Untuk menunjukkan kematangan mereka seringkali terdorong untuk menentang otoritas orang dewasa. Cara yang paling baik untuk menghadapi pemberontakan para remaja/ anak adalah mencoba untuk mengerti mereka, yang kedua adalah melakukan segala sesuatu yang dapat dilakukan untuk membantu siswa berhasil berprestasi dalam bidang yang diajarkan.
Jadi terdapat berbagai cara mengendalikan lingkungan untuk menjamin pembinaan pola emosi yang diinginkan dan menghilangkan reaksi-reaksi emosional yang tidak diinginkan sebelum berkembang menjadi kebiasaan yang tertanam kuat.
            Aplikasi Emosi dalam Kehidupan sehari-hari
Dalam kehidupan sehari-hari factor emosi anak dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan mencerdaskan anak di lingkungan keluarga. Beberapa hal yang terkait dengan ini dijelaskan sebagai berikut:
1.     Proses emosi dapat dijelaskan dari proses fisiologik, yaitu terjadinya emosi ditandai oleh adanya perubahan dalam diri (visceral change). Perubahan dalam diri selama emosi dipengaruhi oleh system syaraf autonomic, kelenjar endokrin, dan system syaraf pusat. Hypothalamus dan cerebral cortex memiliki peranan penting dalam proses emosi.
2.    Pada saat terjadi emosi seringkali terjadi perubahan-perubahan pada fisik , antara lain berupa:
1. Reaksi elektris pada kulit meningkat bila terpesona
2. Peredaran darah bertambah cepat bila marah.
3. Denyut jantung bertambah cepat bila terkejut.
4. Pernafasan; bernafas panjang kalau kecewa
5. Pupil mata; membesar bila marah
6. Liur; mengering kalau takut atau tegang
.
3.     Kondisi bangkitnya (arousal state) emosi dan motivasi sangat mirip satu sama lain. Semakin tinggi status bangkitnya, cenderung diikuti oleh semakin tingginya intensitas dan kuatnya emosi. Meskipun demikian, kebangkitan fisiologik bias menghasilkan tipe-tipe emosi yang berbeda, tegantung lingkungan dimana kebangkitan itu terjadi.misalnya saat ingin marah tetapi ada mertua, bentuk marah menjadi berbeda. Ini artinya proses cerebral  yang mempersepsi situasi dan menafsirkan sensasi selalu bebbasis pada keadaan lingkungan.
Implikasi Emosi
          Dengan penjelasan proses emosi secara umum dan ringkas ini, dapat dipetik sebuah implikasi bahwa dengan diketahinya emosi dan sebab-sebabnya, dapat dimbil manfaat atau kegunaannya. Diantaranya:
a). keperluan penelitian dan pengembangan.
contohnya adanya penelitian yang disebut pupilometrik, yaitu suatu studi tentang perubahan ukuran pupil pada manusia. Pupil menjadi lebar bila individu melihat rangsangan yang menarik dan mengerut ketika seseorang berfokus pada objek yang tidak menyenangkan dan membosankan.
b.) keperluan praktis
adanya alat detector bohong. Detector bohong , bekerja dengan asumsi bahwa perubahan fisiologik tertentu diikuti oleh perbuatan bohong. Berbagai perubahan badaniah diukur dengan alat  Volygraph yang mana kata-kata netral atau yang kritikal dengan tujuan tertentu dapat menunjuk pada suatu subjek kebohongan tertentu. Alat ini tidak akan bekerja apabila orang tidak emosi atau pada saat orang yang khawatir(anxious)
c.) kegunaan lain
1) pemahaman mengenai emosi yang dikaitkan dengan aspek kejiwaan lainnya seperti kognisi, memori, motivasi, dsb, bisa menjadi pendorong untuk meningkatkan kualitas dsiri seseorang, misalnya dalam hal bersikap, belajar, memehami nak, generasi muda, dsb.
2)Emosi menjadi daya dorong untuk berbuat. Emosi merupakan kesenangan sendiri dan dapat berfungsi sebagai motif dan demikian sebaliknya, apabila seseorang tidak puas, akan menjadi motif untuk mencari alternative lain.
3) ditilik dari segi bahasa ekspresinya dapat diperkirakan darimana seseorang berasal. Ekspresi emosi sangat ditentukan oleh konvensi social tentang bagaimana biasanya diekspresikan kepada orang lain.















PENUTUP

Kesimpulan :
Kematangan dalam belajar serta kondisi-kondisi kehidupan atau kultur merupakan faktor-faktor emosi akan mempengaruhi tingkah laku anak.
Dalam kaitannya dengan penyelenggaraan pendidikan, pendidik dapat melakukan beberapa upaya dalam pengembangan emosi anak / remaja antaralain : konsisten dalam pengelolaan kelas, mendorong anak bersaing dengan diri sendiri, pengelolaan diskusi kelas yang baik, mencoba memahami anak didik dan membantu siswa untuk berprestasi.
Pola emosi pada remaja sama dengan pola emosi pada anak-anak , yang membedakan adalah pada rangsangan yang membnagkitkan emosi dan derajatnya serta pengendalian remaja terhadap ungkapan emosi mereka.
Upaya-upaya yang dapat dilakukan dalam rangka pengembangan nilai, moral dan sikap anak / remaja adalah dengan menciptakan komunikasi disamping memberi informasi dan anak diber kesempatan untuk berpartisipasi untuk aspek moral, serta menciptakan system lingkungan yang serasi.

































DAFTAR PUSTAKA
Atkinson, R. L. dkk. 1987. Pengantar Psikologi I. Jakarta : Penerbit Erlangga.
Cooper Cary & Makin Peter, 1995. Psikologi Untuk Manajer. Jakarta: Arcan.
Harmoko, R., Agung, 2005. Kecerdasan Emosional. Binuscareer.com
Goleman, Daniel. 1997. Emotional Intelligence. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama
http://www.jilc-makassar.com/bagaimana-mengendalikan-emosi-kita/
Gunarsa, Singgih, “Dasar dan Teori Perkembangan anak”. Jakarta : PT. BPK Gunung Mulia 1991.
, “Perkembangan Anak”( Alih bahasa Martasari Tjandrasa & Muslichah Zarkasih) Jakarta: Erlangga, 1990
sitasusela-simptangga.blogspot.com/.../pengertian-iq-eq-dan-sq.html
Sunarto, Agung Hartono “ Perkembangan Peserta Didik “ Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1994.
Uno, Hamzah B “Perencanaan Pembelajaran” . Jakarta: PT Bumi Aksara,2008


[1] Semiawan. C. Perspektif Pendidikan Anak Berbakat. (Jakarta: Grasindo, 1999), hlm. 41
[2] Kaphin & Sadock, Emotional Quotient. (New York: McGraw-Hill. 1992), hlm. 72
[3] Goleman Daniel. Emotional Intelligence. (New York: McGraw-Hill. 1995)hlm. 36
[4] Silverman. Psychology, (New York: Appleton-Century-Crotts: 1986), hlm. 124
[5] Semiawan. C. Perspektif Pendidikan Anak Berbakat. (Jakarta: Grasindo, 1999), hlm. 41
[6] Djuretna AIM. Moral dan Religi. (Yogyakarta: Kanisius, 1994), hlm. 97
[7] Reckless. Walter. C., The Crime Problem, third edition (New York:Appleton Century-Graft. Inc: 1981), hlm. 135





0 komentar: