Makalah Radikalisme Islam
PENDAHULUAN
A. Pengertian
Radikalisme Islam
Radikalisme dalam artian bahasa
berarti paham atau aliran yang mengingikan perubahan atau pembaharuan social
dan politikdengan cara kekerasan atau drastis1. Namun, dalam artian
lain, esensi radikalisme adalah konsep sikap jiwa dalam mengusung perubahan. Sementara itu radikalisme menurut
pengertian lain adalah inti dari perubahan itu cenderung menggunakan kekerasan2.
Yang dimaksud dengan radikalisme
adalah
gerakan yang berpandangan kolot dan sering menggunakan kekerasan dalam mengajarkan keyakinan mereka3. Sementara Islam merupakan agama kedamaian yang mengajarkan sikap berdamai dan mencari perdamaian4. Islam tidak pernah membenarkan praktek penggunaan
gerakan yang berpandangan kolot dan sering menggunakan kekerasan dalam mengajarkan keyakinan mereka3. Sementara Islam merupakan agama kedamaian yang mengajarkan sikap berdamai dan mencari perdamaian4. Islam tidak pernah membenarkan praktek penggunaan
kekerasan
dalam menyebarkan agama, paham keagamaan serta paham politik.
Dawinsha
mengemukakan defenisi radikalisme menyamakannya dengan teroris.Tapi ia sendiri
memakai radikalisme dengan membedakan antara keduanya. Radikalisme adalah
kebijakan dan terorisme bagian dari kebijakan radikal tersebut5.
defenisi Dawinsha lebih nyata bahwa radiklisme itu mengandung sikap jiwa yang
membawa kepada tindakan yang bertujuan melemahkan dan mengubah tatanan
kemapanan dan menggantinya dengan gagasan baru.
Makna
yang terakhir ini, radikalisme adalah sebagai pemahaman negatif dan bahkan bisa
menjadi berbahaya sebagai ekstrim kiri atau kanan.
1. Sejarah Radikalisme.
Munculnya
isu-isu politis mengenai radikalisme Islam merupakan tantangan baru bagi umat
Islam untuk menjawabnya. Isu radikalismeIslam ini sebenarnya sudah lama mencuat
di permukaan wacana
internasional.
Radikalisme Islam sebagai fenomena historis-sosiologis merupakan masalah yang
banyak dibicarakan dalam wacana politik dan peradaban global akibat kekuatan
media yang memiliki potensi besar dalam menciptakan persepsi masyarakat dunia6.
Banyak label label yang diberikan oleh kalangan Eropa Barat dan Amerika Serikat
untuk menyebut gerakan Islam radikal, dari sebutan kelompok garis keras,
ekstrimis, militan, Islam kanan, fundamentalisme sampai terrorisme. Bahkan di
negara-negara Barat pasca hancurnya ideology komunisme (pasca perang dingin)
memandang Islam sebagai sebuah gerakan dari peradaban yang menakutkan. Tidak
ada gejolak politik yang lebih ditakuti melebihi bangkitnya gerakan Islam yang
diberinya label sebagai radikalisme Islam. Tuduhan-tudujan dan propaganda Barat
atas Islam sebagai agama yang menopang gerakan radikalisme telah menjadi
retorika internasional.
Label radikalisme bagi gerakan Islam
yang menentang Barat dan sekutu-sekutunya dengan sengaja dijadikan komoditi politik.
Gerakan perlawanan rakyat Palestina, Revolusi Islam Iran, Partai FIS Al-Jazair,
perilaku anti-AS yang dipertunjukkan Mu’ammar Ghadafi ataupun Saddam Hussein,
gerakan Islam di Mindanao Selatan, gerakan masyarakat Muslim Sudan yang
anti-AS, merebaknya solidaritas Muslim Indonesia terhadap saudara-saudara yang
tertindas dan sebagainya, adalah fenomena yang dijadikan media Barat dalam mengkapanyekan
label radikalisme Islam.Tetapi memang tidak bisa dibantah bahwa dalam
perjalanan sejarahnya terdapat kelompok-kelompok Islam tertentu yang menggunakan
jalan kekerasan untuk mencapai tujuan politis atau mempertahankan paham
keagamaannya secara kaku yang dalam bahasa peradaban global sering disebut kaum
radikalisme Islam.
Menurut
Ketua Pengurus Besar Nahdatul Ulama (PBNU), Ahmad Bagja, radikalisme muncul
karena ketidakadilan yang terjadi di dalam masyarakat. Kondisi tersebut bisa
saja disebabkan oleh negara maupun kelompok lain yang berbeda paham, juga
keyakinan. Pihak yang merasa diperlakukan secara tidak adil, lalu melakukan
perlawanan.
Radikalisme
tak jarang menjadi pilihan bagi sebagian kalangan umat Islam untuk merespons
sebuah keadaan. Bagi mereka, radikalisme merupakan sebuah pilihan untuk
menyelesaikan masalah. Namun sebagian kalangan lainnya, menentang radikalisme
dalam bentuk apapun.
Sebab
mereka meyakini radikalisme justru tak menyelesaikan apapun. Bahkan akan
melahirkan masalah lain yang memiliki dampak berkepanjangan. Lebih jauh lagi,
radikalisme justru akan menjadikan citra Islam sebagai agama yang tidak toleran
dan sarat kekerasan.
Cendekiawan
Muslim, Nazaruddin Umar, mengatakan radikalisme sebenarnya tak ada dalam
sejarah Islam. Sebab selama ini Islam tak menggunakan radikalisme untuk
berinteraksi dengan dunia lain. ‘’Dalam sejarahnya, Nabi selalu mengajarkan
umatnya untuk bersikap lemah lembut,’’ tegasnya.
Ini
berarti, jelas Nazaruddin, bahwa penyebaran ajaran Islam yang diemban oleh Nabi
Muhammad dilakukan dengan cara yang santun dan lemah lembut. Nabi mengajarkan
untuk memberikan penghormatan kepada orang lain meski mereka adalah orang yang
memiliki keyakinan yang berbeda.
Nazaruddin
menambahkan bahwa ajaran Islam yang masuk ke Indonesia juga dibawa dengan cara
yang sangat damai. Pun penyebaran Islam yang terjadi di Negara lainnya. Ini sangat
berbeda dengan negara-negara lain, terutama imperialis.
2. Faktor-Faktor
Penyebab Munculnya Gerakan Radikalisme
Gerakan
radikalisme sesungguhnya bukan sebuah gerakan yang muncul begitu saja tetapi
memiliki latar belakang yang sekaligus menjadi faktor pendorong munculnya
gerakan radikalisme. Diantara faktor-faktor itu adalah :
Pertama,
faktor-faktor sosial-politik. Gejala kekerasan “agama” lebih tepat dilihat
sebagai gejala sosial-politik daripada gejala keagamaan. Gerakan yang secara
salah kaparah oleh Barat disebut sebagai radikalisme Islam itu lebih tepat
dilihat akar permasalahannya dari sudut konteks sosial-politik dalam kerangka
historisitas manusia
yang
ada di masyarakat. Sebagaimana diungkapkan Azyumardi Azra 11 bahwa memburuknya
posisi negara-negara Muslim dalam konflik utara-selatan menjadi penopong utama
munculnya radikalisme. Secara historis kita dapat melihat bahwa konflik-konflik
yang ditimbulkan oleh kalangan radikal dengan seperangkat alat kekerasannya
dalam menentang dan membenturkan diri dengan kelompok lain ternyata lebih
berakar pada masalah sosial-politik. Dalam hal ini kaum radikalisme memandang
fakta historis bahwa umat Islam tidak diuntungkan oleh peradaban global
sehingga menimbulkan perlawanan terhadap kekuatan yang mendominasi.
Dengan membawa bahasa dan simbol
serta slogan-slogan agama kaum radikalis mencoba menyentuh emosi keagamaan dan
mengggalang kekuatan untuk mencapai tujuan “mulia” dari politiknya. Tentu saja
hal yang demikian ini tidak selamanya dapat disebut memanipulasi agama karena
sebagian perilaku mereka berakar pada interpretasi agama dalam melihat fenomena
historis. Karena dilihatnya terjadi banyak Islam dan Wacana … [Syamsul Bakri] 7
penyimpangan dan ketimpangan sosial yang merugikan komunitas Muslim maka
terjadilah gerakan radikalisme yang ditopang oleh sentimen dan emosi keagamaan.
Kedua,
faktor emosi keagamaan. Harus diakui bahwa salah satu penyebab gerakan
radikalisme adalah faktor sentimen keagamaan, termasuk di dalamnya adalah
solidaritas keagamaan untuk kawan yang tertindas oleh kekuatan tertentu. Tetapi
hal ini lebih tepat dikatakan sebagai
faktor emosi keagamaannya, dan bukan agama (wahyu suci yang absolut) walalupun
gerakan radikalisme selalu mengibarkan bendera dan simbol agama seperti dalih
membela agama, jihad dan mati stahid. Dalam konteks ini yang dimaksud dengan
emosi keagamaan adalah agama sebagai pemahaman realitas yang sifatnya interpretatif.
Jadi sifatnya nisbi dan subjektif.
Ketiga,
faktor kultural ini juga memiliki andil yang cukup besar yang melatarbelakangi
munculnya radikalisme. Hal ini wajar karena memang secara kultural, sebagaimana
diungkapkan Musa Asy’ari 12 bahwa di dalam masyarakat selalu diketemukan usaha
untuk melepaskan diri dari jeratan jaring-jaring kebudayaan tertentu yang dianggap
tidak sesuai. Sedangkan yang dimaksud faktor kultural di sini adalah sebagai
anti tesa terhadap budaya sekularisme. Budaya Barat merupakan sumber
sekularisme yang dianggab sebagai musuh yang
harus
dihilangkan dari bummi. Sedangkan fakta sejarah memperlihatkan adanya dominasi
Barat dari berbagai aspeknya atas negeri-negeri dan budaya Muslim. Peradaban
barat sekarang inimerupakan ekspresi dominan dan universal umat manusia.
Barat
telah dengan sengaja melakukan proses marjinalisasi selurh sendi-sendi kehidupan
Muslim sehingga umat Islam menjadi terbelakang dan tertindas. Barat, dengan
sekularismenya, sudah dianggap sebagai bangsa yang mengotori budaya-budaya
bangsa Timur dan Islam, juga dianggap bahaya terbesar dari keberlangsungan moralitas
Islam.
Keempat,
faktor ideologis anti westernisme. Westernisme merupakan suatu pemikiran
yang membahayakan Muslim dalam mengapplikasikan syari’at Islam. Sehingga
simbol-simbol Barat harus dihancurkan demi penegakan syarri’at Islam. Walaupun
motivasi dan gerakan anti Barat tidak bisa disalahkan dengan alasan keyakinan keagamaan
tetapi jalan kekerasan yang ditempuh kaum radikalisme justru menunjukkan
ketidakmampuan mereka dalam memposisikan diri sebagai pesaing dalam budaya dan
peradaban.
Kelima,
faktor
kebijakan pemerintah. Ketidakmampuan pemerintahn di negara-negara Islam untuk
bertindak memperbaiki situasi atas berkembangnya frustasi dan kemarahan
sebagian umat Islam disebabkan dominasi ideologi, militer maupun ekonomi dari negera-negara
besar. Dalam hal ini elit-elit pemerintah di negeri-negeri Muslim belum atau
kurang dapat mencari akar yang menjadi penyebab munculnya tindak kekerasan
(radikalisme) sehingga tidak dapat mengatasi problematika sosial yang dihadapi
umat.13 Di samping itu, faktor media massa (pers) Barat yang selalu memojokkan
umat Islam juga menjadi faktor munculnya reaksi dengan kekerasan yang dilakukan
oleh umat Islam. Propaganda-propaganda lewat pers memang memiliki kekuatan
dahsyat dan sangat sulit untuk ditangkis sehingga sebagian “ekstrim” yaitu
perilaku radikal sebagai reaksi atas apa yang ditimpakan kepada komunitas
Muslim.
3. Pengertian
Fiqih
Fiqih menurut bahasa berarti paham.
Fiqih Secara istilah mengandung dua arti:
1.
Pengetahuan tentang hukum-hukum syari’at yang berkaitan dengan perbuatan dan
perkataan mukallaf (mereka yang sudah terbebani menjalankan syari’at agama),
yang diambil dari dalil-dalilnya yang bersifat terperinci, berupa nash-nash al
Qur’an dan As sunnah serta yang bercabang darinya yang berupa ijma’ dan
ijtihad.
2. Hukum-hukum syari’at
itu sendiri.
Jadi perbedaan antara kedua definisi
tersebut bahwa yang pertama di gunakan untuk mengetahui hukum-hukum (Seperti
seseorang ingin mengetahui apakah suatu perbuatan itu wajib atau sunnah, haram
atau makruh, ataukah mubah, ditinjau dari dalil-dalil yang ada), sedangkan yang
kedua adalah untuk hukum-hukum syari’at itu sendiri (Yaitu hukum apa saja yang
terkandung dalam shalat, zakat, puasa, haji, dan lainnya berupa syarat-syarat,
rukun –rukun, kewajiban-kewajiban, atau sunnah-sunnahnya).
a.Sejarah
Fiqih
Di masa Rasulullah saw, umat Islam
tidak memerlukan kaidah-kaidah tertentu dalam memahami hukum-hukum syar’i,
semua permasalahan dapat langsung merujuk kepada Rasulullah saw lewat
penjelasan beliau mengenai Al-Qur’an, atau melalui sunnah beliau saw.
Para sahabat ra menyaksikan dan
berinteraksi langsung dengan turunnya Al-Qur’an dan mengetahui dengan baik
sunnah Rasulullah saw, di samping itumereka adalah para ahli bahasa dan pemilik
kecerdasan berpikir serta kebersihan fitrah yang luar biasa, sehingga
sepeninggal Rasulullah saw mereka pun tidak memerlukan perangkat teori (kaidah)
untuk dapat berijtihad, meskipun kaidah-kaidah secara tidak tertulis telah ada
dalam dada-dada mereka yang dapat mereka gunakan di saat memerlukannya.
Setelah meluasnya futuhat islamiyah,
umat Islam Arab banyak berinteraksi dengan bangsa-bangsa lain yang berbeda
bahasa dan latar belakang peradabannya, hal ini menyebabkan melemahnya
kemampuan berbahasa Arab dikalangan sebagian umat, terutama di Irak . Di sisi
lain kebutuhan akan ijtihad begitu mendesak, karena banyaknya masalah-masalah
baru yang belum pernah terjadi dan memerlukan kejelasan hukum fiqhnya.
Dalam
situasi ini, muncullah dua madrasah besar yang mencerminkan metode
mereka
dalam berijtihad:
- Madrasah ahlir-ra’yi di Irak dengan
pusatnya di Bashrah dan Kufah.
- Madarasah ahlil-hadits di Hijaz dan
berpusat di Mekkah dan Madinah.
Perbedaan
dua madrasah ini terletak pada banyaknya penggunaan hadits atau qiyas dalam
berijtihad. Madrasah ahlir-ra’yi lebih banyak menggunakan qiyas (analogi) dalam
berijtihad, hal ini disebabkan oleh:
- Sedikitnya jumlah hadits yang sampai ke
ulama Irak dan ketatnya seleksi hadits yang mereka lakukan, hal ini karena
banyaknya hadits-hadits palsuyang beredar di kalangan mereka sehingga mereka
tidak mudah menerima riwayat seseorang kecuali melalui proses seleksi yang
ketat. Di sisi lain masalah baru yang mereka hadapi dan memerlukan ijtihad
begitu banyak, maka mau tidak mau mereka mengandalkan qiyas (analogi) dalam
menetapkan hukum. Masalah-masalah baru ini muncul akibat peradaban dan
kehidupan masyarakat Irak yang sangat kompleks.
- Mereka mencontoh guru mereka Abdullah bin
Mas’ud ra yang banyak menggunakan qiyas dalam berijtihad menghadapi berbagai
masalah.
Sedangkan
madrasah ahli hadits lebih berhati-hati dalam berfatwa dengan
qiyas,
karena situasi yang mereka hadapi berbeda, situasi itu adalah:
- Banyaknya hadits yang berada di tangan
mereka dan sedikitnya kasus-kasus baru yang memerlukan ijtihad.
- Contoh yang mereka dapati dari guru
mereka, seperti Abdullah bin Umar ra, dan Abdullah bin ‘Amr bin
‘Ash, yang sangat berhati-hati menggunakan
logika dalam berfatwa.
Perbedaan kedua madrasah ini
melahirkan perdebatan sengit, sehingga membuat para ulama merasa perlu untuk
membuat kaidah-kaidah tertulis yang dibukukan sebagai undang-undang bersama
dalam menyatukan dua madrasah ini. Di antara ulama yang mempunyai perhatian
terhadap hal ini adalah Al-Imam Abdur Rahman bin Mahdi rahimahullah (135-198
H). Beliau meminta kepada Al Imam Asy-Syafi’i rahimahullah (150-204 H) untuk
menulis sebuah buku tentang prinsip-prinsip ijtihad yang dapat digunakan
sebagai pedoman. Maka lahirlah kitab Ar-Risalah karya Imam Syafi’i sebagai
kitab pertama dalam ushul fiqh.
Hal ini tidak berarti bahwa sebelum
lahirnya kitab Ar-Risalah prinsip prinsip ushul fiqh tidak ada sama sekali,
tetapi ia sudah ada sejak masa sahabat ra dan ulama-ulama sebelum Syafi’i, akan
tetapi kaidah-kaidah itu belum disusun dalam sebuah buku atau disiplin ilmu
tersendiri dan masih berserakan pada kitab-kitab fiqh para ‘ulama. Imam Syafi’i
lah orang pertama yang menulis buku ushul fiqh, sehingga Ar Risalah menjadi
rujukan bagi para ulama sesudahnya untuk mengembangkan dan menyempurnakan ilmu
ini.
Dapat kita simpulkan bahwa ada tiga
faktor yang menyebabkan munculnya
penulisan
ilmu ushul fiqh:
- Adanya perdebatan sengit antara madrasah
Irak dan madrasah Hijaz.
- Mulai melemahnya kemampuan bahasa Arab di
sebagian umat Islam akibat interaksi dengan bangsa lain
terutama Persia.
- Munculnya banyak persoalan yang belum
pernah terjadi sebelumnya dan memerlukan kejelasan hukum,
sehingga kebutuhan akan ijtihad kian
mendesak.
b. Radikalisme
dalam perspektif fiqih
Diantara keistimewaan fiqih Islam
–yang kita katakan sebagai hukum-hukum syari’at yang mengatur perbuatan dan
perkataan mukallaf – memiliki keterikatan yang kuat dengan keimanan terhadap
Allah dan rukun-rukun aqidah Islam yang lain. Terutama Aqidah yang berkaitan
dengan iman dengan hari akhir.
Yang demikian Itu dikarenakan
keimanan kepada Allah-lah yang dapat menjadikan seorang muslim berpegang teguh
dengan hukum-hukum agama, dan terkendali untuk menerapkannya sebagai bentuk
ketaatan dan kerelaan. Sedangkan orang yang tidak beriman kepada Allah tidak merasa
terikat dengan shalat maupun puasa dan tidak memperhatikan apakah perbuatannya
termasuk yang halal atau haram. Maka berpegang teguh dengan hukum-hukum
syari’at tidak lain merupakan bagian dari keimanan terhadap Dzat yang
menurunkan dan mensyari’atkannya terhadap para hambaNya.
Kekerasan dalam bentuk perang bukan
dimulai oleh umat Islam sendiri. Begitu pula dalam sejarah perjungan nabi
Muhammad SAW, perang badar, uhud, dan lainnya bukanlah umat Islam yang
mengundang kaum kafir, akan tetapi sebaliknya. Umat Islam justru diperintahkan
untuk tetap berbuat baik kepada siapa pun, termasuk kepada non-muslim yang
dapat hidup rukun. Mengenai hal ini, Allah juga berfirman dalam surah Al
Mumtahanah ayat 8 dan 9 ”Allah tidak melarang kamu berbuat baik dan adil terhadap
orang-orang yang tidak memerangi kamu dalam agama dan tidak mengusir kamu dari
kampung-kampungmu sebab Allah senang kepada orang-orang yang adil. Allah hanya
melarang kamu bersahabat dengan orang-orang yang memerangi kamu dalam agama dan
mengusir kamu dari kampung-kampungmu dan saling bantu-membantu untuk mengusir
kamu ,barangsiapa bersahabat dengan mereka maka mereka itu adalah orang-orang
yang zalim”.
4. Ayat-ayat
Al Qur’an yang mengajarkan Rahmatan Lil ‘Alamin.
Pada dasarnya Al_Qur'an itu
diturunkan sbg pedoman hidup manusia untuk mencapai kebahagiaan di dunia dan
akhirat.perdamaian itu masuk kedalam kategori kebaikan,jadi sudah jelas Al-Qur'an
akan mengajarkarkan kebaikan dan melarang perbuatan yang buruk.
“Rahmah” itu sebuah kata yang
berasal dari bahasa arab yang maknanya ialah kelembutan, pengampunan dan kasih
sayang 8. Sedangkan dalam bahasa Indonesia, kata “rahmat” maknanya
ialah kurnia, kebajikan, dan belas kasih9.
Allah SWT berfirman:
]وَمَا
أَرْسَلْنَاكَ إِلاَّ رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ[
“Dan tiadalah Kami utus engkau (ya Muhammad) melainkan
sebagai rahmat bagi seluruh alam” (TQS. AL Anbiya 107).
Dengan
pengertian rahmah yang demikian inilah kita akan memahami pembuktian secara
ilmiah bahwa Islam adalah agama rahmah dalam konsepnya maupun contoh teladan
pengamalannya. Dalam prinsip dasarnya maupun dalam prinsip-prinsip kehidupan
yang dibangun di atas dasar prinsip tersebut. Berikut ini adalah rincian
keterangan bahwa Islam adalah agama rahmah.
1). Konsep ketuhanan yang diperkenalkan
oleh Islam adalah Tuhan yang Maha Pengasih dan Penyayang. Bahkan sifat rahmat
pada-Nya termasuk sifat-sifat pokok yang meliputi segenap sifat-sifat-Nya yang
lainnya. Allah Ta`ala menegaskan dalam firman-Nya:
“Allah mengatakan: Adzabku
ditimpakan kepada siapa saja yang Aku kehendaki dan rahmat-Ku meliputi segala
sesuatu. Maka Aku tuntunkan Ia untuk orang-orang yang bertakwa dan menunaikan
zakat dan bagi orang-orang yang beriman.” (QS. Al-A'raf: 156)
2). Nabi yang diutus oleh Allah untuk
mengajarkan kepada manusia tentang agama-Nya adalah Nabi pembawa rahmat. Hal
ini dinyatakan Allah dalam firman-Nya:
(ayat)
“Dan tidak Kami utus engkau kecuali
sebagai rahmat bagi segenap makhluk di bumi.” (QS. Al-Anbiya': 107)
3). Al-Qur'an sebagai kitab suci yang
Allah turunkan juga sebagai rahmat bagi segenap makhluk-Nya. Hal ini dinyatakan
oleh Allah Ta`ala dalam firman-Nya:
“Dan kitab ini Kami turunkan dengan diberkahi padanya, maka ikutilah ia dan bertakwalah kamu kepada-Nya. Semoga dengan itu kalian dirahmati oleh-Nya. Agar kamu jangan mengatakan bahwa kitab itu hanya diturunkan kepada dua golongan saja (yakni Yahudi dan Nashara) sebelum kami (yakni sebelum kaum Musyrikin Makkah). Dan sesungguhnya Kami tidak memperhatikan ayat yang mereka baca (yakni kaum musyrikin makkah beralasan bahwa kitab Allah itu hanya diturunkan pada orang-orang yahudi dan Nashara dalam bahasa Ibrani dan Suryani, sehingga orang Arab tidak bisa membaca dan memahaminya. Maka agar mereka tidak beralasan demikian, Allah turunkan Al-Qur'an). Atau agar kamu (wahai musyrikin Arab) tidak mengatakan: Sesungguhnya jikalau kitab itu diturunkan kepada kami, tentulah kami lebih mendapat petunjuk dari mereka. Sesungguhnya telah datang kepada kamu keterangan yang nyata dari Tuhanmu, petunjuk dan rahmat (yaitu Al-Qur'an ini). Maka siapakah yang lebih dhalim daripada orang yang mendustakan ayat-ayat Allah dan berpaling daripadanya? Kelak Kami akan memberi balasan kepada orang-orang yang berpaling dari ayat-ayat Kami dengan siksaan yang buruk disebabkan mereka selalu berpaling.” (QS. Al-An`am: 155 – 157)
“Dan kitab ini Kami turunkan dengan diberkahi padanya, maka ikutilah ia dan bertakwalah kamu kepada-Nya. Semoga dengan itu kalian dirahmati oleh-Nya. Agar kamu jangan mengatakan bahwa kitab itu hanya diturunkan kepada dua golongan saja (yakni Yahudi dan Nashara) sebelum kami (yakni sebelum kaum Musyrikin Makkah). Dan sesungguhnya Kami tidak memperhatikan ayat yang mereka baca (yakni kaum musyrikin makkah beralasan bahwa kitab Allah itu hanya diturunkan pada orang-orang yahudi dan Nashara dalam bahasa Ibrani dan Suryani, sehingga orang Arab tidak bisa membaca dan memahaminya. Maka agar mereka tidak beralasan demikian, Allah turunkan Al-Qur'an). Atau agar kamu (wahai musyrikin Arab) tidak mengatakan: Sesungguhnya jikalau kitab itu diturunkan kepada kami, tentulah kami lebih mendapat petunjuk dari mereka. Sesungguhnya telah datang kepada kamu keterangan yang nyata dari Tuhanmu, petunjuk dan rahmat (yaitu Al-Qur'an ini). Maka siapakah yang lebih dhalim daripada orang yang mendustakan ayat-ayat Allah dan berpaling daripadanya? Kelak Kami akan memberi balasan kepada orang-orang yang berpaling dari ayat-ayat Kami dengan siksaan yang buruk disebabkan mereka selalu berpaling.” (QS. Al-An`am: 155 – 157)
4). Umat Islam dengan agama ini
dibimbing oleh Allah Ta`ala untuk menjadi umat yang adil terhadap kesalahan
yang ada pada dirinya, pada umatnya maupun pada umat yang lainnya. Allah
menegaskan:
“Demikianlah Kami menjadikan kalian
sebagai umat yang adil agar kalian menjadi saksi yang adil terhadap sekalian
manusia dan Rasul menjadi saksi atas kalian.” (QS. Al-Baqarah: 143)
Allah Ta`ala menuntunkan pula
tentang keharusan berbuat adil walau pun terhadap musuh:
“Wahai orang-orang yang beriman,
jadilah kalian orang-orang yang menegakkan persaksian dengan adil karena Allah.
Dan janganlah kebencian kamu kepada suatu kaum menyebabkan kamu tidak berbuat
adil. Berbuat adillah, karena perbuatan adil itu lebih dekat kepada ketakwaan.
Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah itu maha mengerti segenap
apa yang kalian lakukan.”
(QS. Al-Maidah: 8)
5). Umat Islam juga dibimbing oleh
Allah Ta`ala untuk berbuat baik dan berbuat adil kepada orang-orang kafir yang
tidak sedang memerangi umat Islam karena alasan agama. Allah Ta`ala berfirman:
“Allah tidak melarang kalian berbuat baik dan berbuat adil terhadap orang-orang kafir yang tidak memerangi kalian dalam perkara agama dan tidak mengusir kalian dari negeri-negeri kalian. sesungguhnya Allah cinta kepada orang-orang yang berbuat adil. Hanyalah Allah melarang kalian bercinta dengan orang-orang kafir yang memerangi kalian karena alasan agama dan mengusir kalian dari negeri-negeri kalian serta membantu orang-orang yang berloyalitas dengan orang-orang kafir. Yang demikian itu, maka sungguh dia adalah orang-orang yang dhalim.” (QS. Al-Mumtahanah: 8 – 9).
“Allah tidak melarang kalian berbuat baik dan berbuat adil terhadap orang-orang kafir yang tidak memerangi kalian dalam perkara agama dan tidak mengusir kalian dari negeri-negeri kalian. sesungguhnya Allah cinta kepada orang-orang yang berbuat adil. Hanyalah Allah melarang kalian bercinta dengan orang-orang kafir yang memerangi kalian karena alasan agama dan mengusir kalian dari negeri-negeri kalian serta membantu orang-orang yang berloyalitas dengan orang-orang kafir. Yang demikian itu, maka sungguh dia adalah orang-orang yang dhalim.” (QS. Al-Mumtahanah: 8 – 9).
6). Perang dalam Islam disyariatkan
antara lain dalam rangka pembelaan terhadap orang-orang yang lemah yang tidak
mampu membela dirinya dari kedhaliman orang-orang yang dhalim. Allah Ta`ala
menegaskan hal ini dalam firman-Nya:
“Dan mengapa kamu tidak berperang di
jalan Allah, padahal orang-orang lemah yang tertindas dari kalangan pria,
wanita dan anak-anak selalu berdoa dan merintih kepada Allah dengan menyatakan:
wahai Tuhan kami, keluarkanlah kami dan negeri yang penduduknya dhalim ini dan
jadikanlah bagi kami dari sisi-Mu pembela dan jadikan pula bagi kami dari
sisi-Mu penolong.”
(QS. An-Nisa: 75)
7). Islam selalu mengajarkan kepada kaum
Muslimin untuk sangat mengutamakan stabilitas politik dan keamanan. Karena
Islam sebagai agama rahmah tidak menghendaki tertumpahnya darah rakyat Muslimin
dan darah kafir dzimmi karena fitnah politik dan gangguan keamanan. Untuk ini,
Allah Ta`ala mengajarkan beberapa prinsip politik dan keamanan guna mencapai
stabilitas pada keduanya. Prinsip-prinsip itu ialah:
a). Mentaati penguasa / pemerintah
dalam perkara yang ma`ruf (baik) dan berlepas diri daripadanya dalam perkara
yang munkar (jelek / jahat). Allah Ta`ala menyatakan hal ini dalam firman-Nya:
"Wahai orang-orang yang
beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya dan pemerintah kalian. Maka bila
kalian bertikai tentang suatu masalah, kembalikanlah kepada Allah (yakni kepada
kitab-Nya) dan kepada Rasul-Nya (yakni kepadanya ketika masih hidup dan kepada
segenap ajarannya setelah beliau wafat, pen) bila kalian beriman kepada Allah
dan hari kiamat. Sikap yang demikian itu adalah baik dan akan lebih baik lagi akibatnya
nanti di belakang hari.”
(QS. An-Nisa: 59)
8). Islam juga memerintahkan kepada kaum Muslimin untuk
menjalankan misi menyerukan manusia kepada kebaikan dan mencegah manusia dari
kemunkaran. Tetapi bila mencegah kemunkaran itu menimbulkan kemunkaran yang
lebih besar, maka mencegah kemunkaran yang beresiko demikian harus
ditinggalkan. Al-Imam Ibnul Qayyim Al-Jauziyah rahimahullah menerangkan:
“Mengingkari / mencegah kemungkaran itu ada empat tingkatan yaitu:
Pertama : Menyingkirkan kemunkaran dan digantikan
dengan lawannya (yaitu kemakrufan).
Kedua : Menyingkirkan kemunkaran dengan
menguranginya, walau pun tidak menghapuskan secara keseluruhan.
Ketiga : Menyingkirkan kemunkaran, tetapi
kemudian muncul kemunkaran yang serupa itu.
Keempat : Menyingkirkan kemunkaran tetapi
kemudian muncul kemunkaran yang lebih jahat daripadanya.
Maka tingkatan pertama dan kedua
adalah nahi munkar yang disyariatkan. Dan tingkatan ketiga dalam nahi munkar
ini masih dalam perbincangan ijtihad para ulama. Sedangkan tingkat keempat dari
nahi munkar adalah bentuk yang diharamkan.”10
Demikianlah
prinsip-prinsip dasar dalam Islam yang menunjukkan bahwa Islam adalah agama
rahmah bagi kaum Muslimin sendiri maupun bagi seluruh umat manusia.
Islam sangat membenci aksi
kezhaliman apa pun bentuknya. Karena Islam senantiasa mengajarkan dan
memerintahkan kepada umatnya untuk menjunjungtinggi kedamaian, persahabatan,
dan kasih sayang (rahmatan lil ‘alamin). Bahkan al-Qur’an menyatakan, bahwa
orang yang melakukan aksi kezhaliman termasuk golongan orang yang merugi dalam
kehidupannya. Di dunia akan di cap sebagai pelaku kejahatan dan di akhirat
kelak akan dimasukkan ke dalam api neraka Jahannam. Allah Swt. berfirman dalam
surah Al-Kahfi [18]: 103-106, “ Katakanlah: "Apakah akan Kami beritahukan
kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya?"Yaitu
orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini,
sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya.
5. Ayat-ayat
Al Hadits yang mengajarkan Rahmatan Lil ‘Alamin
Dalam agama Islam ada pemahaman amar
ma’ruf nahi mungkar. konsep amar ma’ruf nahi munkar juga bisa mendatangkan
pemahaman keliru sehingga mengidentikkannya dengan kekerasan. Hadis yang
terkenal mengenai nahi munkar adalah: Man ra-a minkum munkaran falyughaiyirhu
biyadih, faman lam yastathi’ fabilisanih, faman lam yastathi’ fabiqalbih, wahua
adh’aful iman. Artinya: “Barangsiapa di antara kamu melihat kemungkaran maka
tegahlah dengan tangan, kalau ia tidak sanggup (berbuat demikian), maka hendaklah
ia mengubah dengan lisannya, dan kalau tidak sanggup (pula), maka hendaklah ia
melakukan dengan hatinya (mendo’akan), yang demikian adalah selemah-lemah
iman.” (H.R. Ahad bin Hanbal, Muslim dan Ashab as-Sunan (para ahli hadis
penyusun kitab hadis Sunan).
Jika hadis ini dipahami secara
tekstual, maka cara nahi mungkar yang utama adalah dengan cara kekerasan, yaitu
dengan tangan. Tetapi tidak semua hadis, termasuk ayat, dapat dipahami secara
tekstual. Adakalanya yang tertulis mesti dipahami secara kontekstual. Mencegah
dengan tangan tersebut bukanlah dimaknai dengan kekerasan, tetapi dengan
kekuasaan. Artinya kita harus mencegah kemungkaran dengan kekuasaan yang kita
miliki, seorang pemimpin harus mencegah bawahannya dari perilaku kemungkaran,
sebab dia berkuasa atas bawahannya; orang tua harus mencegah anaknya dari
kemungkaran, sebab orang tua juga berkuasa atas anaknya; seorang suami juga
mesti mencegah istrinya berbuat kemungkaran sebab suami berkuasa atas istrinya;
begitu seterusnya.
Kesimpulan
Radikalisme tidak sesuai degan
ajaran Islam sehingga tidak patut untuk ditujukan dalam agama Islam karena
sesungguhnya dalam Islam tidak ada yang namanya radikalisme.
Dalam Al Qur’an dan Hadits sendiri
memerintahkan umatnya untuk saling menghormati dan menyayangi serta bersikap
lemah lembut kepada orang lain meskipun orang itu penganut agama lain.
0 komentar: