Makalah AKUNTABILITAS DAN QUALITY ASSURANCE PENDIDIKAN

AKUNTABILITAS DAN QUALITY ASSURANCE PENDIDIKAN




KATA PENGANTAR

Puji dan Syukur kami panjatkan ke Hadirat Allah swt,  karena berkat limpahan Rahmat dan Karunia-nya sehingga kami dapat menyusun makalah “AKUNTABILITAS DAN QUALITY ASSURANCE PENDIDIKAN” dengan baik dan tepat pada waktunya. Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Politik Dan Etika Pendidikan yang diampu oleh Bapak Nur Mukhlis Zakariya, M.Ag selaku Dosen pembimbing. 

Makalah ini dibuat dengan berbagai observasi dan beberapa bantuan dari berbagai pihak untuk membantu menyelesaikan tantangan dan hambatan selama mengerjakan makalah ini. Oleh karena itu, kami mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan makalah ini. 

Kami menyadari bahwa masih banyak kekurangan yang mendasar pada makalah ini. Oleh karena itu kami mengundang pembaca untuk memberikan saran serta kritik yang dapat membangun kami. Kritik konstruktif dari pembaca sangat kami harapkan untuk penyempurnaan makalah selanjutnya. 

Akhir kata semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi kita sekalian. 



                                                                                                        Blitar, Desember 2013

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Berbagai negara di dunia tidak pernah surut melakukan upaya peningkatan mutu pendidikian. Kecenderungan internasional mengisyaratkan bahwa sistem penjaminan dan peningkatan mutu pendidikan dibangun dari unit satuan pendidikan di mana kelompok pendidik dan tenaga kependidikan profesional menunjukkan komitmen dan praktek-praktek yang terbaik (akuntabilitas profesional).
Paradigma penjaminan mutu telah bergeser dari praktek quality control ke quality assurance and development. Hasil-hasil kajian menunjukkan bahwa peningkatan mutu tidak selalu berkaitan dengan peningkatan anggaran pendidikan dan  ketersediaan guru dalam jumlah dan kualifikasi. Peningkatan mutu terjadi dalam perwujudan budaya mutu yang menunjukkan perubahan cara berfikir dan budaya kerja yang mengutamakan mutu.
Perhatian pemerintah (Indonesia) terhadap peningkatan mutu pendidikan nasional direfleksikan dalam  berbagai kebijakan pembangunan pendidikan yang secara sistematik telah lama dilakukan sejak rencana pembangunan lima tahun pertama. Berbagai program inovasi pendidikan baik yang dilaksanakan dalam bentuk kegiatan proyek maupun rutin pada kenyataannya belum menunjukkan hasil pencapaian mutu pendidikan yang mampu membangun daya saing bangsa.
Indikator-indikator kajian internasional maupun regional dalam banyak aspek selalu menunjukkan bahwa daya saing Indonesia menduduki peringkat yang belum  memberikan kebanggaan sebagai bangsa. Dengan mempertimbangkan peranan strategis pendidikan dalam investasi sumber daya manusia, diyakini bahwa penyelenggaraan pendidikan yang bermutu akan mampu secara bertahap membangun martabat dan daya saing bangsa Indonesia. Satu sistem penjaminan dan peningkatan mutu diperlukan untuk menghindari pelaksanaan program-program pendidikan yang parsial, tidak berkelanjutan, serta belum kuatnya tata kerja akuntabilitas penyelenggaraan pendidikan.

B. Rumusan Masalah
1.      Apakah pengertian akuntabilitas pendidikan?
2.      Apakah tujuan akuntabilitas pendidikan?
3.      Bagaimana langkah-langkah akuntabilitas pendidikan?
4.      Apakah pengertian quality assurance?
5.      Apakah tujuan quality assurance?
6.      Bagaimana mekanisme quality assurance?
7.      Bagaimana langkah-langkah quality assurance?
C. Tujuan
Tujuan penulisan makalah ini selain untuk memenuhi tugas kelompok mata kuliah Politik dan Etika Pendidikan, juga untuk menjelaskan mengenai konsep akuntabilitas pendidikan serta quality assurance pendidikan.

BAB II
PEMBAHASAN


A. Pengertian Akuntabilitas    
Akuntabilitas adalah sebuah konsep etika yang dekat dengan administrasi publik pemerintahan (lembaga eksekutif pemerintah, lembaga legislatif parlemen dan lembaga yudikatif Kehakiman) yang mempunyai beberapa arti antara lain, hal ini sering digunakan secara sinonim dengan konsep-konsep seperti yang dapat dipertanggungjawabkan (responsibility),[1]yang dapat dipertanyakan (answerability), yang dapat dipersalahkan (blameworthiness) dan yang mempunyai ketidakbebasan (liability) termasuk istilah lain yang mempunyai keterkaitan dengan harapan dapat menerangkannya salah satu aspek dari administrasi publik atau pemerintahan, hal ini sebenarnya telah menjadi pusat-pusat diskusi yang terkait dengan tingkat problembilitas di sektor publik, perusahaan nirlaba, yayasan dan perusahaan-perusahaan.
Dalam peran kepemimpinan, akuntabilitas dapat merupakan pengetahuan dan adanya pertanggungjawaban tehadap tiap tindakan, produk, keputusan dan kebijakan termasuk pula di dalamnya administrasi publik pemerintahan, dan pelaksanaan dalam lingkup peran atau posisi kerja yang mencakup di dalam mempunyai suatu kewajiban untuk melaporkan, menjelaskan dan dapat dipertanyakan bagi tiap-tiap konsekuensi yang sudah dihasilkan.
akuntabilitas merupakan istilah yang terkait dengan tata kelola pemerintahan sebenarnya agak terlalu luas untuk dapat didefinisikan. [2][3]akan tetapi hal ini sering dapat digambarkan sebagai hubungan antara yang menyangkut saat sekarang ataupun masa depan, antar individu, kelompok sebagai sebuah pertanggungjawaban kepentingan merupakan sebuah kewajiban untuk memberitahukan, menjelaskan terhadap tiap-tiap tindakan dan keputusannya agar dapat disetujui maupun ditolak atau dapat diberikan hukuman bilamana diketemukan adanya penyalahgunaan kewenangan. [4]
Akuntabilitas berasal dari bahasa Latin:accomptare (mempertanggungjawabkan) bentuk kata dasar computare (memperhitungkan) yang juga berasal dari kata putare (mengadakan perhitungan).[5] Sedangkan kata itu sendiri tidak pernah digunakan dalam bahasa Inggris secara sempit tetapi dikaitkan dengan berbagai istilah dan ungkapan seperti keterbukaan (openness), transparansi (transparency), aksesibilitas (accessibility), dan Berhubungan kembali dengan publik (reconnecting with the public) dengan penggunaannya mulai abad ke-13 Norman Inggris,[6][7]konsep memberikan pertanggungjawaban memiliki sejarah panjang dalam pencatatan kegiatan yang berkaitan dengan pemerintahan dan sistem pertanggungjawaban uang yang pertama kali dikembangkan di Babylon,[8] Mesir,[9] Yunani,[10], Roma.[11] dan Israel[12]
Pengertian Akuntabilitas Pendidikan

McAshan (1983) menyebutkan bahwa akuntabilitas adalah kondisi seseorang yang dinilai oleh orang lain karena kualitas performannya dalam menyelesaikan tujuan yang menjadi tanggungjawabnya. Sedangkan John Elliot (1981:15-16) merinci makna yang terkandung di dalam akuntabilitas, yaitu : (1) cocok atau sesuai (fitting In) dengan peranan yang di harapkan, (2) menjelaskan dan mempertimbangkan kepada orang lain tentang keputusan dan tindakan yang di ambilnya, (3) performan yang cocok dan dan meminta pertimbangan/penjelasan kepada orang lain.

Akuntabilitas membutuhkan aturan, ukuran atau kriteria, sebagai indikator keberhasilan suatu pekerjaan atau perencanaan. Dengan demikian, maka akuntabilitas adalah suatu keadaan performan para petugas yang mampu bekerja dan dapat memberikan hasil kerja sesuai dengan criteria yang telah di tentukan bersama sehingga memberikan rasa puas pihak lain yang berkepentingan. Sedangkan akuntabilitas pendidikan adalah kemampuan sekolah mempertanggungjawabkan kepada publik segala sesuatu mengenai kinerja yang telah dilaksanakan. Scorvis D. Anderson dalam bukunya Accountability What, Who, and Whither?
Dalam Made Pidarta (1988), menyebutkan lima bagian yang merupakan manifestasi dari akuntabilitas, yaitu : (1) mengontrak performan. Performan di tentukan kriterianya dan disepakati bersama. Artinya pertugas pelaksana tidak boleh menyimpang dari kriteria tersebut. (2) memiliki kunci pembentuk arah dalam bentuk biaya dan usaha performan yang dikontrak/ditentukan, diharapkan tercapai tujuan secara efektif sehingga pengontrak merasa puas. (3) unsur pemeriksaan yang dilakukan oleh orang-orang bebas dan tidak terlibat dalam kegiatan internal, seperti orang tua siswa, masyarakat, atau pemerintah. (4) memberikan jaminan, dalam bidang pendidikan mutu dapat terjamin dengan menggunakan kriteria atau ukuran tertentu. (5) pemberian insentif, diberikan sebagai penghargaan dan dapat di ukur menurut kriteria tertentu, dengan maksud untuk meningkatkan motivasi dan sistem kompetisi dalam meningkatkan performan.
Akuntabilitas dalam bidang pendidikan, seperti yang di katalkan oleh H.H. Mc Ashaan, yaitu : (1) program dan manajemen personalia yang mengarah kepada tujuan, (2) penekanan manajemen yang efektif dan efisien, dan (3) pengembangan program, pengembangan personalia, peningkatan hubungan dengan masyarakat, dan kegiatan-kegiatan manajemen.
B. Tujuan Akuntabilitas Pendidikan

Tujuan akuntabilitas pendidikan adalah agar terciptanya kepercayaan publik terhadap sekolah. Kepercayaan publik yang tinggi akan sekolah dapat mendorong partisipasi yang lebih tinggi pula terdapat pengelolaan manajemen sekolah. Sekolah akan dianggap sebagai agen bahkan sumber perubahan masyarakat. Slamet (2005:6) menyatakan: Tujuan utama akuntabilitas adalah untuk mendorong terciptanya akuntabilitas kinerja sekolah sebagai salah satu syarat untuk terciptanya sekolah yang baik dan terpercaya. Penyelenggara sekolah harus memahami bahwa mereka harus mempertanggungjawabkan hasil kerja kepada publik.

Selain itu, tujuan akuntabilitas adalah menilai kinerja sekolah dan kepuasaan publik terhadap pelayanan pendidikan yang diselenggarakan oleh sekolah, untuk mengikutsertakan publik dalam pengawasan pelayanan pendidikan dan untuk mempertanggungjawabkan komitmen pelayanan pendidikan kepada publik.

Rumusan tujuan akuntabilitas di atas hendak menegaskan bahwa akuntabilitas bukanlah akhir dari sistem penyelenggaran manajemen sekolah, tetapi merupakan faktor pendorong munculnya kepercayaan dan partisipasi yang lebih tinggi lagi. Bahkan, boleh dikatakan bahwa akuntabilitas baru sebagai titik awal menuju keberlangsungan manajemen sekolah yang berkinerja tinggi.

C. Manfaat Akuntabilitas Pendidikan

Akuntabilitas mampu membatasi ruang gerak terjadinya perubahan dan pengulangan, dan revisi perencanaan. Sebagai alat kontrol, akuntabilitas memberikan kepastian pada aspek-aspek penting perencanaan, antara lain:
1. Tujuan/performan yang ingin dicapai
2. Program atau tugas yang harus dikerjakan untuk mencapai tujuan
3. Cara atau performan pelaksanaan dalam mengerjakan tugas
4. Alat dan metode yang sudah jelas, dana yang dipakai, dan lama bekerja yang semuanya telah tertuang dalam bentuk alternatife penyelesaikan yang sudah eksak/pasti
5. Lingkungan sekolah tempat program dilaksanakan
6. Insentif terhadap pelaksana sudah ditentukan secara pasti

C.  Langkah-Langkah Akuntabilitas Pendidikan
Made Pidarta (1988) merumuskan langkah-langkah yang harus di tempuh untuk menentukan akuntabilitas dalam melaksanakan tugas-tugas pendidikan, sebagai berikut:
1. Menentukan tujuan program yang dikerjakan, dalam perencanaan disebut misi atau tujuan perencanaan.
2. Program dioperasionalkan sehingga menimbulkan tujuan-tujuan yang spesifik.
3. Menggambarkan kondisi tempat bekerja.
4. Menentukan otoritas atau kewenangan petugas pendidikan.
5. Menentukan pelaksana yang akan mengerjakan program/ tugas. Ia penanggungjawab program, menurut konsep akuntabilitas ia adalah orang yang dikontrak.
6. Membuat kriteria performan pelaksana yang dikontrak secara jelas, sebab hakekatnya yang dikontrak adalah performan ini.
7. Menentukan pengukur yang bersifat bebas, yaitu orang-orang yang tidak terlibat dalam pelaksanaan program tersebut.
8. Pengukuran dilakukan sesuai dengan syarat pengukuran umum yang berlaku, yaitu secara insidental, berkala dan
9. Hasil pengukuran dilaporkan kepada orang yang berkaitan.
 Makna yang dapat diambil dari pembahasan di atas adalah bagaimana penyelenggaraan pendidikan di lingkungan persekolahan (shooling) diselenggarakan dengan sebaik-baiknya untuk memenuhi akuntabilitas publik sebagai investasi sumberdaya manusia strategis melalui proses “learning” yang baik.


D.  Pengertian Quality Assurance
Istilah penjaminan mutu (quality assurance) pada awalnya digunakan di lingkungan dunia bisnis barang dan jasa, dengan maksud untuk menumbuhkan budaya peduli mutu. Jaminan mutu perlu dilakukan oleh perusahaan untuk memberikan kepuasan kepada kastemer pemakai produk. Dalam perkembangan selanjutnya, penerapan konsep jaminan mutu ini ternyata tidak hanya terbatas di lingkungan bisnis dan industri, tetapi juga dalam bidang pelayanan jasa pendidikan sejalan dengan munculnya gerakan akuntabilitas pendidikan.
Dalam lingkungan sistem pendidikan, khususnya persekolahan, tuntutan akan penjaminan mutu merupakan gejala yang wajar, karena penyelenggaraan pendidikan yang bermutu merupakan akuntabilitas publik. Setiap komponen pemangku kepentingan pendidikan orang tua, masyarakat, dunia kerja, pemerintah) dalam peranan dan kepentingannya masing-masing memeiliki kepentingan terhadap penyelenggaraan pendidikan yang bermutu. Mutu dalam pengertian memenuhi spesifikasi sering disebut sebagai kesesuaian untuk tujuan atau penggunaan, atau disebut pula sebagai definisi kualitas menurut produsen.

 Quality Assurance Pendidikan
Peningkatan mutu pendidikan memerlukan standar mutu,  dilakukan dalam satu prosedur tata kerja yang jelas, strategi, kerjasama dan kolaborasi antar pemangku kepentingan; dan dilakukan secara terus-menerus berkelanjutan. Kebijakan pembangunan pendidikan pada dewasa ini menunjukkan adanya modal kuat untuk meningkatkan mutu pendidikan nasional. Delapan Standar Nasional Pendidikan  (SNP) menyediakan acuan  untuk mengkaji pencapaian pendidikan, mutu pendidikan dan bidang yang membutuhkan peningkatan mutu pendidikan.  Delapan (8) SNP yang dimaksudkan meliputi : (1)  standar isi, (2) standar proses, (3) standar kompetensi lulusan, (3) standar pendidik dan tenaga kependidikan, (5) s.tandar sarana dan prasarana, (6) standar pengelolaan, standar pembiayaan, dan (8) standar penilaian pendidikan.
Penjaminan & Peningkatan Mutu Pendidikan di Indonesia
Penjaminan dan peningkatan mutu pendidikan untuk pendidikan dasar dan menengah di Indonesia terkait dengan:
  1. Pengkajian mutu pendidikan
  2. Analisis dan pelaporan mutu pendidikan
  3. Peningkatan mutu pendidikan
  4. Penumbuhan budaya peningkatan mutu berkelanjutan
Penelitian internasional mengindikasikan bahwa para guru dan sekolah adalah pihak-pihak yang memberikan kontribusi terbesar terhadap hasil mutu pendidikan peserta didik. Untuk alasan di atas, cakupan Sistem Penjaminan dan Peningkatan Mutu Pendidikan perlu diarahkan pada penjaminan dan meningkatkan mutu untuk guru, kepala sekolah, sekolah, dan tenaga inti lainnya di sekolah serta sistem yang mendukung pekerjaan mereka. Definisi penjaminan dan peningkatan mutu  pendidikan dasar dan menengah dirumuskan sebagai: Serangkaian proses dan sistem yang terkait untuk mengumpulkan, menganalisa dan  melaporkan data mengenai kinerja dan mutu tenaga pendidik dan kependidikan, program dan lembaga.
Proses penjaminan mutu mengidentifikasi aspek  pencapaian dan prioritas peningkatan, menyediakan data sebagai dasar perencanaan dan pengambilan keputusan serta membantu membangun budaya peningkatan berkelanjutan. Pencapaian mutu pendidikan untuk pendidikan dasar dan menengah dikaji berdasarkan delapan Standar Pendidikan Nasional BSNP. Penjaminan mutu akan berkontribusi terhadap peningkatan mutu.
Delapan Standar Pendidikan Nasional (NSP) menyediakan acuan  untuk mengkaji pencapaian pendidikan, mutu pendidikan dan bidang yang membutuhkan peningkatan mutu pendidikan. Pendidikan dasar dan menengah di Indonesia beroperasi dalam suatu konteks manajemen dan pemerintahan yang mendelegasikan sebagian besar tanggung jawab implementasinya kepada propinsi, kabupaten dan sekolah.
Agar dapat berjalan dengan efektif dalam konteks kebijakan dan manajemen ini, sistem penjaminan dan peningkatan mutu pendidikan perlu menyediakan fleksibilitas yang memadai yang akan memungkinkan kabupaten dan sekolah untuk mengkaji dan meningkatkan mutu di wilayah prioritas yang mencerminkan faktor kontekstual lokal dan spesial.

E. Tujuan Quality Assurance Pendidikan
Keberadaan Permendiknas No.63 Tahun 2009
Pemerintah menindaklanjuti ketentuan mengenai penjaminan mutu  yang terdapat pada Peraturan Pemerintah Republik Indonesia nomor 19 tahun 2005 ke dalam Permendiknas no.63 tahun 2009 tentang Sistem Penjaminan Mutu Pendidikan (SPMP). Mutu pendidikan dalam SPMP adalah tingkat kecerdasan kehidupan bangsa yang dapat diraih dari penerapan sistem pendidikan nasional. Penjaminan mutu pendidikan adalah kegiatan sistemik dan terpadu oleh satuan atau program pendidikan, penyelenggara satuan atau program pendidikan, pemerintah daerah, pemerintah, dan masyarakat untuk menaikkan tingkat kecerdasan kehidupan bangsa melalui pendidikan. Tujuan penjaminan mutu pendidikan dalam permendiknas ini  adalah terbangunnya SPMP yang terdiri dari :
  1. Terbangunnya budaya mutu pendidikan formal, nonformal, dan informal;
  2. Pembagian tugas dan tanggung jawab yang jelas dan proporsional dalam penjaminan mutu pendidikan formal dan non formal pada satuan atau program pendidikan, penyelenggara satuan atau program pendidikan, pemerintah kabupaten atau kota, pemerintah provinsi, dan Pemerintah;
  3. Ditetapkannya secara nasional acuan mutu dalam penjaminan mutu pendidikan formal dan nonformal;
  4. Terpetakannya secara nasional mutu pendidikan formal dan non formal yang dirinci menurut provinsi, kabupaten atau kota, dan satuan atau program pendidikan;
  5. Terbangunnya sistem informasi mutu pendidikan formal dan non formal berbasis teknologi informasi dan komunikasi yang andal, terpadu, dan tersambung yang menghubungkan satuan atau program pendidikan, penyelenggara satuan atau program pendidikan, pemerintah kabupaten atau kota, pemerintah provinsi, dan Pemerintah.
F. Mekanisme Quality Assurance Pendidikan
Penjaminan mutu pendidikan dilakukan atas dasar prinsip  keberlanjutan, terencana dan sistematis, dengan kerangka waktu dan target-target capaian mutu. SPMP merupakan sistem terbuka yang terus disempurnakan secara berkelanjutan. Penyelenggara satuan atau program pendidikan wajib menyediakan sumber daya yang diperlukan untuk terlaksananya penjaminan mutu. Sementara itu, pemerintah pusat, pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten/kota wajib mensupervisi, mengawasi, dan mengevaluasi, serta dapat memberi fasilitasi, saran, arahan, dan bimbingan kepada pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten atau kota, dan penyelenggara satuan pendidikan sesuai kewenangannya berkaitan dengan penjaminan mutu satuan pendidikan. Kegiatan tersebut harus dapat bekerja sama dengan :
  1. mengikuti arahan dan binaan LPMP untuk pendidikan formal.
  2. mengikuti arahan dan binaan P2PNFI atau BPPNFI untuk pendidikan nonformal
  3. Inspektorat pemerintah untuk melakukan audit kinerja terhadap unit pelaksana teknis daerah yang terlibat dalam penjaminan mutu pendidikan
  1. memperhatikan pertimbangan dari dewan pendidikan provinsi, kabupaten atau kota.
Penyelenggara satuan atau program pendidikan menetapkan prosedur operasional standar (POS) untuk memenuhi 8 standar yang terdapat dalam SNP. Penjaminan mutu oleh satuan atau program pendidikan menjadi tanggung jawab satuan atau program pendidikan dan wajib didukung oleh seluruh pemangku kepentingan satuan atau program pendidikan. Semua satuan atau program pendidikan wajib melayani audit kinerja penjaminan mutu yang dilakukan oleh Pemerintah, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten atau kota sesuai kewenangannya.
            Namun sangat disayangkan, sampai saat ini, pemerintah belum mengeluarkan pendoman atau juknis yang jelas tentang pemaparan dari permendiknas no.63 yang telah ditetapkan setahun yang lalu. Disamping itu, pemerintah belum mensosialisasikan permendiknas ini secara optimal kepada seluruh stakeholder yang berkepentingan sehingga banyak terjadi kesimpangsiuran akan persepsi dari proses implementasinya. Ditambah lagi dengan adanya sistem otonomi daerah yang ada di negara kita yang belum dilaksanakan secara utuh sehingga mengakibatkan terjadinya banyak tembok penghalang dalam proses komunikasinya. Hal ini terjadi karena pemerintah pusat yang mengeluarkan permendiknas tersebut tidak memiliki wewenang penuh dalam hal pengaturan institusi sekolah. Di era otonomi sekarang ini, institusi sekolah sepenuhnya adalah wewenang kabupaten/kota dalam tataran pelaksanaan. Tidak dapat dipungkiri bila pemerintah pusat tidak dapat berkoordinasi dan bekerja sama dengan pemerintah daerah maka konsep yang telah terbangun tentang penjaminan mutu pendidikan akan terasa sia-sia dan tidak akan dapat diimplementasikan secara sempurna.
Untuk itu diperlukan pola hubungan kerja (networking) yang memungkinkan proses penjaminan mutu pendidikan dapat berhubungan langsung secara fungsional dengan semua pihak yang terlibat dalam peningkatan mutu pendidikan. Hubungan fungsi tersebut perlu ditindak lanjuti dengan hubungan struktural jika diperlukan. Dengan pola networking yang baik dan tepat tentunya akan terjalin komunikasi horizontal yang intensif yang dapat memudahkan proses administrasi maupun implementasi dari sistem penjaminan mutu pendidikan.
G. Langkah-langkah Quality Assurance Pendidikan
Bila kita lihat, pengelolaan pendidikan selama ini lebih bersifat macro-oriented, dimana proses dan berbagai kebijakan banyak diatur oleh jajaran birokrasi di tingkat atas dengan tidak semaksimal mungkin mengkomunikasikan serta mengsosialisasikan dengan baik ke tataran bawah. Oleh karenanya banyak persoalan proses rancangan implementasi yang diproyeksikan di tingkat makro (pusat) tidak terjadi atau tidak berjalan sebagaimana mestinya di tingkat mikro (sekolah) sehingga  seringkali tidak dapat terpikirkan secara utuh dan akurat oleh birokrasi pusat. Sekolah sebagai institusi pelaksana pendidikan yang paling utama dengan berbagai keragaman potensi peserta didik yang memerlukan layanan pendidikan yang beragam, harus senantiasa dinamis dan kreatif dalam melaksanakan perannya untuk mengupayakan peningkatan mutu pendidikan. Oleh karenanya, sudah sepatutnya sekolah diberikan kepercayaan untuk mengelola institusinya sendiri sesuai dengan kondisi realistis yang ada dan kebutuhan peserta didiknya. Untuk itu perlu adanya standar yang  diatur dan disepakati secara nasional untuk dijadikan indikator penilaian bagi  keberhasilan peningkatan mutu dari institusi tersebut.   
Saat ini, pemerintah telah menetapkan standar tersebut dengan adanya 8 standar nasional pendidikan yang menjadi pijakan utama bagi sekolah dalam memberikan pendidikan yang bermutu bagi peserta didik. Pemerintah memiliki peranan penting dalam mensosialisasikan konsep dasar mutu pendidikan bagi sekolah khususnya kepada masyarakat. Selain itu pemerintah harus dapat menggalang kesadaran bahwa peningkatan mutu pendidikan merupakan tanggung jawab semua komponen masyarakat, dengan fokus peningkatan mutu yang berkelanjutan (terus menerus) pada tataran sekolah. Konsep penjaminan mutu berkembang didasarkan kepada suatu keinginan dan keharusan bagi sekolah untuk turut berpartisifasi langsung secara aktif dan dinamis dalam rangka proses peningkatan mutu pendidikan melalui penerapan proses manajemen terpadu (TQM). Sekolah harus mampu menterjemahkan dan menangkap esensi segala kebijakan yang berhubungan dengan proses penjaminan mutu serta memahami bagaimana proses implementasinya yang kemudian melalui proses perencanaan, sekolah harus dapat memformulasikannya ke dalam kebijakan mutu melalui bentuk program - program prioritas yang harus dilaksanakan sehingga tercipta budaya mutu. Dengan demikian sekolah secara mandiri tetapi masih dalam kerangka acuan kebijakan nasional, memiliki tanggung jawab terhadap pengembangan dan peningkatan mutu pendidikannya.
Terdapat beberapa isu-isu yang menjadi perhatian khusus yang merupakan kunci utama dalam menciptakan stategi sekolah yang bermutu. Isu yang pertama berkaitan dengan visi dan misi sekolah. Sekolah harus mengetahui apa visi dan misi mereka, apakah tujuan yang akan mereka capai dan nilai-nilai apa yang akan mengarahkan mereka dalam pencapaian mutu sekolah. Isu yang kedua adalah bagaimana sekolah mengenali para pelanggannya dengan baik. Siapakah pelanggan sekolah itu sebenarnya, apa yang diharapkan  dan dibutuhkan oleh para pelanggan dari sekolah. Sekolah harus melakukan apa untuk memenuhi harapan pelanggannya. Metode apa yang digunakan sekolah dalam mengidentifikasi kebutuhan pelanggannya. Isu yang ke tiga adalah bagaimana caranya sekolah meraih sebuah kesuksesan. Untuk itu pihak sekolah harus mengetahui apa kekuatan, kelemahan,peluang dan ancaman bagi sekolah dalam upaya meraih kesuksesan tersebut.  Faktor-faktor apa saja yang terpenting dalam mencapai mutu yang diinginkan dan bagaimana caranya sekolah mencapai mutu yang diharapkan. Isu yang ke empat adalah bagaimana sekolah menempatkan mutu sebagai tujuan utama. Sekolah harus dapat menetapkan standar yang akan digunakan guna mencapai mutu yang diinginkan. Sekolah harus dapat mengetahui bagaimana caranya menyampaikan mutu tersebut agar dapat dipahami dan dimengerti oleh semua komponen sekolah dan para pelanggannya. Selain itu sekolah harus dapat memikirkan biaya apa yang harus dikeluarkan untuk pencapaian mutu tersebut. Isu yang ke lima adalah bagaimana sekolah menginvestasikan sumber daya manusia yang ada. sekolah harus mengetahui apa yang seharusnya dilakukan terhadap semua staf  yang ada dan bagaimana caranya melakukan komunikasi yang baik serta bagaimana caranya memberikan pengembangan yang berarti buat mereka. Isu yang terakhir adalah bagaimana sekolah dapat mengevaluasi proses yang telah dilakukan oleh sekolah. Sekolah harus memiliki proses tertentu dalam menghadapi sesuatu yang salah dengan mengutamakan segi pencegahan hingga akhirnya sekolah akan berpikir bagaimana sekolah mengetahui bahwa sekolah tersebut telah sukses dalam meningkatkan mutu yang diinginkan sesuai dengan tujuannya.
Jerome S.Arcaro (1995) membuat sebuah model visual tentang sekolah yang menerapkan mutu total. Sekolah tersebut ditopang oleh lima pilar yaitu berfokus kepada pelanggan, keterlibatan secara total akan semua komponen dan anggota sekolah yang ada didalamnya, selalu melakukan pengukuran yang periodik  akan ketercapaian mutu, semua komponen dan yang utama kepala sekolah berkomitmen pada sebuah perubahan yang menuju kearah peningkatan mutu dan yang terakhir melakukan penyempurnaan secara terus-menerus.
Sistem jaminan mutu dalam sekolah setidaknya harus mencakup elemen seperti di bawah ini :
  1. adanya pengembangan sekolah melalui sebuah perencanaan yang trategis dengan memberikan visi jangka panjang serta mewujudkannya dengan program-program yang sesuai dengan 8 standar pendidikan nasional
  2. adanya kebijakan mutu sebagai statemen publik tentang komitmen institusi yang mengatur ketercapaian standar yang diharapkan
  3. adanya tanggung jawab manajemen yang mengatur peranan sekolah  yang merujuk kepada kebijakan yang ada berdasarkan peraturan yang berlaku.
  4. adanya pengidentifikasian wilayah tanggung jawab dan wewenang dari semua unit yang ada di sekolah berikut juga tim-tim mutu yang dibentuk dalam rangka meningkatkan mutu sekolah
  5. sekolah harus dapat memberikan informasi yang jelas melalui komunikasi yang efektif kepada semua konsumen pendidikan tentang standar mutu yang akan diberikan terutama dalam hal program pembelajaran
  6.  
    1. sekolah harus dapat menyediakan dan mengelola kurikulum yang tepat dengan melakukan proses manajemen kurikulum sampai pada proses pembelajarannya yang sesuai dengan standar
    2. seluruh guru dan staf sekolah harus didorong agar kompeten dalam melaksanakan tugas mereka dan selalu berupaya melakukan pengembangan agar menghasilkan guru dan staf yang profesional
    3. sekolah harus dapat memiliki sistem umpan balik yang baik dalam rangka menilai apakah mutu sekolah telah sesuai dengan standar yang diharapkan maka mekanisme pencegahan dan koreksi harus tepat sehingga dapat mengawasi prestasi peserta didik dan  kesuksesan program yang telah ditentukan
    4. sekolah harus dapat mendokumentasikan semua prosedur administrasi pokok baik dari mulai input, proses dan out put. Proses kontrol dokumen adalah hal yang penting untuk menjaga kedisiplinan seluruh unit sekolah dalam upaya meningkatkan mutu pendidikan
Masalah kegagalan mutu pada pendidikan biasanya terletak pada masalah manajemen. Masalah tersebut adalah kegagalan manajemen senior (kepala sekolah) dalam hal ini pimpinan institusi pendidikan dalam menyusun perencanaan ke depan. Perencanaan yang sekarang ini banyak dilakukan oleh kepala sekolah bukan merupakan serangkaian langkah untuk menerapkan mutu, tetapi desakan terhadap manajemen ada di atasnya tentang apa yang harus dan tidak boleh dilakukan agar sekolah berjalan dengan baik. Ada lima kendala yang sangat signifikan dalam permasalahan pencapaian mutu di sekolah menurut Deming  yaitu : kurang konstannya tujuan dalam sebuah institusi pendidikan, pola pikir jangka pendek dengan tidak menekankan sebuah visi kedepan dengan mengembangkan kultur perbaikan, evaluasi prestasi individu melalui penilaian atau peninjaunan kinerja tahunan dengan mengesampingkan kinerja harian yang dia lakukan setiap harinya, rotasi kerja yang terlalu tinggi di antara para pimpinan sekolah dan para guru serta staf sekolahnya, manajemen yang menggunakan prinsip angka yang nampak dalam mengukur sebuah keberhasilan dan kurang mengikutsertakan nilai kebahagiaan dan kesuksesan dari para pelanggannya. Kegagalan yang sering terjadi dalam sekolah adalah kegagalan sistem seperti desain kurikulum yang lemah, bangunan yang tidak memenuhi syarat, lingkungan kerja yang buruk, sistem dan prosedur yang tidak sesuai dan pengembangan staf yang tidak memadai. Permasalah ini merupakan kegagalan sistem yang memerlukan perubahan kebijakan dengan implikasi manajemennya adalah hal tersebut harus dihilangkan dan sistem serta prosedurnya harus disusun, ditetapkan dan dikembangkan kembali. Selain kegagalan sistem, sebab-sebab kegagalan yang lainnya adalah prosedur dan aturan yang tidak diikuti dan ditaati serta adanya kegagalan komunikasi dan kesalah-pahaman di dalam interen sekolah.
Kepala sekolah sebagai pimpinan tertinggi di sekolah harus dapat mengatasi berbagai persoalan diatas dengan menciptakan budaya mutu di lingkungan sekolahnya. Budaya mutu ini merupakan pondasi yang sangat mendasar dalam upaya menjalankan roda sistem penjaminan mutu pendidikan.

BAB III
KESIMPULAN
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2003 TENTANG SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL
Pasal 1 ayat 21:
Evaluasi pendidikan adalah kegiatan pengendalian, penjaminan, dan penetapan mutu
pendidikan terhadap berbagai komponen pendidikan pada setiap jalur, jenjang, dan
jenis pendidikan sebagai bentuk pertanggungjawaban penyelenggaraan pendidikan.

Pasal 35 ayat 1:
Standar nasional pendidikan terdiri atas standar isi, proses, kompetensi lulusan, tenaga
kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan, pembiayaan, dan penilaian
pendidikan yang harus ditingkatkan secara berencana dan berkala.

Pasal 50 ayat 2:
Pemerintah menentukan kebijakan nasional dan standar nasional pendidikan untuk
menjamin mutu pendidikan nasional.

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 2005  TENTANG STANDAR NASIONAL PENDIDIKAN
Pasal 2: Lingkup, fungsi dan tujuan
(1)  Lingkup Standar Nasional Pendidikan meliputi:
a.  standar isi;
b.  standar proses;
c.  standar kompetensi lulusan;
d.  standar pendidik dan tenaga kependidikan;
e.  standar sarana dan prasarana;
f.  standar pengelolaan;
g.  standar pembiayaan;dan
h.  standar penilaian pendidikan.
(2)  Untuk penjaminan dan pengendalian mutu pendidikan sesuai
dengan  Standar  Nasional  Pendidikan  dilakukan  evaluasi,
akreditasi, dan sertifikasi.
(3)  Standar  Nasional  Pendidikan  disempurnakan  secara
terencana,  terarah,  dan  berkelanjutan  sesuai  dengan  tuntutan
perubahan kehidupan lokal, nasional, dan global.

Pasal 49: Standar pengelolaan
(1)  Pengelolaan  satuan  pendidikan  pada  jenjang  pendidikan
dasar  dan  menengah  menerapkan  manajemen  berbasis
sekolah  yang  ditunjukkan  dengan  kemandirian,  kemitraan,
partisipasi, keterbukaan, dan akuntabilitas
(2)  Pengelolaan  satuan  pendidikan  pada  jenjang  pendidikan
tinggi  menerapkan  otonomi  perguruan  tinggi  yang  dalam
batas-batas  yang  diatur  dalam  ketentuan  perundang-undangan  yang  berlaku  memberikan  kebebasan  dan
mendorong  kemandirian  dalam  pengelolaan  akademik,
operasional,  personalia,  keuangan,  dan  area  fungsional
kepengelolaan  lainnya  yang  diatur  oleh  masing-masing
perguruan tinggi.

Pasal 91: Penjaminan mutu
(1)  Setiap  satuan  pendidikan  pada  jalur  formal  dan  nonformal
wajib melakukan penjaminan mutu pendidikan.
(2)  Penjaminan  mutu  pendidikan  sebagaimana  dimaksud  pada
ayat  (1)  bertujuan  untuk  memenuhi  atau  melampaui  Standar
Nasional Pendidikan.
(3)  Penjaminan  mutu  pendidikan  sebagaimana  dimaksud  pada
ayat  (1)  dilakukan  secara  bertahap,  sistematis,  dan  terencana
dalam  suatu  program  penjaminan  mutu  yang  memiliki  target
dan kerangka waktu yang jelas.








.













DAFTAR PUSTAKA

Akuntabilitas Pendidikan | Ruang Diskusi Untuk Semua..

elfalasy88.wordpress.com/.../akuntabilitas-pendidikan/


Akuntabilitas - Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

1.      ^ Dykstra, Clarence A. (February 1939). "The Quest for Responsibility". American Political Science Review 33 (1): 1–25.
2.      ^ Mulgan, Richard (2000). "'Accountability': An Ever-Expanding Concept?". Public Administration 78 (3): 555–573.
3.      ^ Sinclair, Amanda (1995). "The Chameleon of Accountability: Forms and Discourses". Accounting, Organizations and Society 20 (2/3): 219–237.
4.      ^ Schedler, Andreas (1999). "Conceptualizing Accountability". In Andreas Schedler, Larry Diamond, Marc F. Plattner. The Self-Restraining State: Power and Accountability in New Democracies. London: Lynne Rienner Publishers. hlm. 13–28. ISBN 1-55587-773-7.
5.      ^ Oxford English Dictionary 2nd Ed.
6.      ^ Dubnick, Melvin (1998). "Clarifying Accountability: An Ethical Theory Framework". In Charles Sampford, Noel Preston and C. A. Bois. Public Sector Ethics: Finding And Implementing Values. Leichhardt, NSW, Australia: The Federation Press/Routledge. hlm. 68–8l.
7.      ^ Seidman, Gary I (Winter 2005). "The Origins of Accountability: Everything I Know About the Sovereign's Immunity, I Learned from King Henry III". St. Louis University Law Journal 49 (2): 393–480.
8.      ^ Urch, Edwin J. (July 1929). "The Law Code of Hammurabi". Americna Bar Association Journal 15 (7): 437–441.
9.      ^ Ezzamel, Mahmoud (December 1997). "Accounting, Control and Accountability: Preliminary Evidence from Ancient Egypt". Critical Perspectives on Accounting 8 (6): 563–601.
10.  ^ Roberts, Jennnifer T. (1982). Accountability in Athenian Government. Madison, WI: University of Wisconsin Press.
11.  ^ Plescia, Joseph (January 2001). "Judicial Accountability and Immunity in Roman Law". American Journal Of Legal History 45 (1): 51–70.

12.  ^ Walzer, Michael (1994). "The Legal Codes of Ancient Israel". In Ian Shapiro. the Rule of Law. NY: New York University Press. hlm. 101–119.

 

Ø  AIBEP (2008). Education Quality Assurance and Improvement System. Academic Paper
Ø  Peraturan Mendiknas no.07 tahun 2007 tentang Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan.
Ø  Peraturan Pemerintah No.19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan.
Ø  Queensland Department of Education (1999). School Accountability in Queensland School. Brisbane.
Ø  Raka, Gede (1994). TQM Bukan Teknik tetapi Nilai-Nilai. Majalah Usahawan XXI
Ø  Sallis, Edward (1994). Total Quality Management in Education. London : Kogan Page Limited.
Suryadi, Ace (1999). Pendidikan, Investasi SDM, dan Pembangunan. Jakarta : Balai Pustaka.
Ø  Tim Pengembang Penjaminan Mutu Sekolah (2003). Konsep Dasar Program Penjaminan Mutu Sekolah. Lembaga Penelitian,  Universitas Pendidikan Indonesia
Ø  Wiyono, (1998). Implementasi TQM di Perguruan Tinggi. STT Telkom Bandung.

Ø  Tags: Peningkatan dan Penjaminan Mutu Pendidikan

pp-no-19-2005ok.pdf - Google Drive

UU SISDIKNAS NO 20 TH 2003

  


Posted  : 02 Januari 2014
By         : Pakdhe Keong
Sumber : Siska Sunarti

1 comment:

  1. Thanks For Sharing, Interesting Article ^_^
    Visit >>> Website

    ReplyDelete