Demokrasi Pendidikan di Indonesia dan Otonomi Perguruan Tinggi Oleh : ARFIYAN BAYU BEKTI
DEMOKRASI DAN OTONOMI PENDIDIKAN
“Demokrasi Pendidikan di Indonesia dan Otonomi Perguruan Tinggi”
Oleh : ARFIYAN BAYU BEKTI
BAB I
PENDAHULUAN
Kapitalisme sebagai ideologi dominan saat ini punya pengaruh yang
sangat besar dalam setiap denyut nadi kehidupan manusia. Dominasi kapitalisme
tidak hanya dalam wilayah ekonomi, tapi telah merambah ke wilayah yang lain,
termasuk didalamnya dunia pendidikan. Dalam wilayah pendidikan, dampak yang
paling nyata dari dominasi kapitalisme adalah pada salah satu produk yang
dihasilkannya, yaitu “cultur of
positivism”. Pengaruh kapitalisme dan budaya positivisme terhadap
pendidikan sangat jelas.
Model budaya positivisme yang memandang guru sebagai subjek yang
mengetahui segalanya dan murid di anggap tidak mengerti apa-apa. Hal ini
disebabkan apa yang ditekankan dalam proses pembelajaran adalah bagaimana
memiliki dan mengakumulasi pengetahuan, bukan bagaimana memahami, mengkritik,
memproduksi dan menggunakan pengetahuan sebagai alat untuk mengubah realitas.
Dengan demikian diperlukan adanya demokrasi pendidikan, yakni pendidikan
dilandaskan pada visi untuk membangun masyarakat yang demokratis. Demokrasi pendidikan merupakan suatu
pandangan yang mengutamakan hak, kewajiban dan perlakuan oleh tenaga
kependidikan terhadap peserta didik dalam proses pendidikan.
Pelaksanaan demokrasi pendidikan di
indonesia ini sebenarnya telah diatur sejak diproklamasikan kemerdekaan hingga
masa pembangunan saat ini. hal ini tercantum dalam UUD 45 Pasal 31:
a.
Tiap-tiap warga Negara berhak mendapatkan pengajaran.
b. Pemerintah
mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pengajaran nasional, yang diatur
undang-undang.
UU Republik Indonesia Nomor 20 tahun
2003 tentang sistem pendidikan Nasional Pada BAB IV, Pasal 5, ayat 1
menyebutkan: Setiap warga Negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh
pendidikan yang bermutu.[1][1]
Dengan melihat Undang-Undang
SISDIKNAS tersebut apakah realita yang ada memang sudah sejalan dengan
cita-cita demokrasi pendidikan di Indonesia?
Kemudian ketika membicarakan issu mengenai RUU (Rancangan
Undang-Undang) BHP (Badan Hukum Pendidikan) yang katanya akan mendorong
Universitas menjadi world class univercity sebab akan memberikan otonomi
kampus seluas-luasnya yang kemudian dampaknya dicurigai mengarah pada
komersialisasi pendidikan. Walaupun pada akhirnya RUU BHP resmi dicabut oleh Mahkamah Konstitusi. Kemudian muncul Issu
paling baru adalah mengenai Undang-Undang Nomor 12/2012 tentang pendidikan
tinggi. UU PT diharapkan mampu menjadi payung hukum pengaturan pendidikan
tinggi di Indonesia. Kemudian muncul pertanyaan bagaimana penerapan otonomi
perguruan tinggi itu? Dan bagaimana keterkaitannya dengan BHP dan UU
No.12/2012?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Demokrasi Pendidikan
1. Pengertian
Demokrasi Pendidikan
Istilah demokrasi sebagaimana dalam literatur politik diambil dari
bahasa Yunani kuno, yang terdiri dari dua kata yaitu demos yang bermakna rakyat dan kratos
yang berarti kekuasaan, dan apabila digabungkan menjadi bermakna kekuasaan di
tangan rakyat.[2][2] Sedangkan pendidikan meburut Ki Hajar Dewantara merupakan proses
kebudayaan yang utuh. Ia tidak saja berurusan dengan pengajaran semata. Tetapi
juga berurusan dengan bakat, psikologi, karakter, dan moral. Pendidikan juga
tidak terbatas pada ruang formal dan non formal belaka, seperti sekolah dan
tempat kursus. Pendidikan meliputi seluruh kehidupan di alam semesta yang
dimulai dari keluarga.[3][3]
Berdasarkan definisi diatas dapat
dipahami bahwa demokrasi pendidikan merupakan suatu pandangan yang mengutamakan
hak, kewajiban dan perlakuan oleh tenaga kependidikan terhadap peserta
didik dalam proses pendidikan.
Hubungan antara demokrasi dan pendidikan sangat erat dan bersifat saling
memberi dan saling membutuhkan. Menurut Dewey, pendidikan tanpa demokrasi akan
menjadi kering, menjemukan dan merana. Demokrasi adalah system bentuk kehidupan
social yang ditandai dengan kontak interaksi yang terbuka diantara warga
masyarakat. Kontak-kontak interaksi ini memungkinkan setiap individu
mendapatkan pengalaman yang tidak terbatas. Pengalaman yang diperoleh masing-
masing individu ada hakikatnya merupakan pendidikan, sehingga masing-masing
individu akan mampu mengembangkan pengalaman yang diperoleh dan dapat
memperhitungkan pengalaman baru yang akan diperoleh sebagai hasil mendapatkan
pengalaman sebelumnya. Tanpa kontak interaksi tidak akan ada pengalaman, dan
tanpa pengalaman tidak ada learning. Dan
berikutnya, tanpa ada learning
kontak-kontak interaksi sosial sangat terbatas dan pada gilirannya akan
membatasi terwujudnya demokrasi.[4][4]
Demokratisasi pendidikan adalah
implikasi dari dan sejalan dengan kebijakan mendorong pengelolaan sektor
pendidikan pada daerah, yang implementasinya di tingkat sekolah. Gagasan
demokratis ini didasari oleh pertimbangan yang simpel, yakni memperbesar
partisipasi masyarakat dalam pendidikan, tidak sekedar dalam konteks retribusi
uang sumbangan pendidikan. Kemudian, gagasan demokratisasi juga dikembangkan
dengan sebuah paradigma baru tentang pelibatan siswa dalam proses pembelajaran,
yang juga memberi kesempatan dalam menentukan aktivitas belajar yang akan
mereka lakukan.
Pendidikan demokrasi merupakan
proses sepanjang hayat. Bermula dari pendidikan keluarga,di dalam masyarakat,
di sekolah dasar hingga sekolah menengah, diteguhkan di perguruan tinggi untuk
dilanjutkan sebagai pola hidup dalam berkarya. Pedidikan demokatis hanya dapat
berlangsung dengan lancar apabila kondisi lingkungan juga demokratis.[5][5]
Demokrasi yang ideal adalah pengakuan dan penghargaan terhadap
keanekaragaman dan keberbedaan dalam kehidupan pribadi maupun masyarakat.
Demokrasi justru ada karena pengakuan terhadap pluralisme, terhadap pendapat
yang berbeda, dan kesanggupan menyelesaikan konflik untuk tujuan bersama.
Demokrasi adalah suatu pola hidup bersama dan akumulasi pengalaman-pengalaman
yang terkomunikasi bersama.[6][6]
2.
Paradigma pendidikan kritis dalam demokrasi pendidikan
Pendidikan pada dasarnya merupakan bagian yang
tidak terpisahkan dari kehidupan manusia. Dari mulai lahir (sejak dari buaian),
manusia senantiasa belajar dengan yang terjadi disekitarnya, hingga manusia
lanjut usia bahkan meninggal dunia, ia tetap melakukan prakondisi-prakondisi dalam melihat persoalan yang
dihadapi, dan inilah proses pembelajaran.[7][7]
Pandangan
klasik tentang pendidikan pada umumnya dikatakan sebagai pranata yang dapat
dijalankan pada tiga fungsi sekaligus ; Pertama, menyiapkan generasi
muda untuk memegang peranan-peranan tertentu dalam masyarakat dimasa depan. Kedua, mentransfer atau memindahkan pengetahuan, sesuai
dengan peranan yang diharapkan, dan Ketiga, mentransfer
nilai-nilai dalam rangka memelihara keutuhan dan kesatuan masyarakat sebagai
prasyarat bagi kelangsungan hidup (survive) masyarakat dan
peradaban.[8][8]
Dalam
perkembangan berikutnya, ekstensifikasi pengertian pendidikan
tersebut, sejalan dengan tuntutan masyarakat atau “pasar”. Dari sini lalu
pendidikan memainkan fungsi sebagai suplementer, melestarikan
tata social dan tata nilai yang ada dimasyarakat dan sekaligus sebagai agen pembaharuan.[9][9]
Pendidikan
merupakan pimpinan dan bimbingan bagi peserta didik. Pendidikan menjadikan
prosesnya harus berjalan dengan kebijakan “Learning Process Skill” daripada
“Learning Concept”. Pada pendekatan proses akan ditandai dengan
kurikukulum yang student centered, bukan teacher centered. Peran
guru lebih sebagai fasilitator, mediator, dinamisator, organisator, dan
katalisator yang bekerja keras untuk memberlakukan “dialog” sebagai ruh
yang mendasari hidupnya proses pendidikan, serta tidak mencoba menerapkan sikap
“anti dialog” di dalamnya.[10][10]
Proses
pendidikan ideal di atas memungkinkan munculnya sikap kritis (prise
conscience) pada peserta didik, di mana persepsi terhadap siswa tidak lagi
ia pandang sebagai “cawan” (yang pasif dan dituangi air ke dalamnya), tetapi
sebagai subjek yang belajar dan bersama-sama dengan subjek yang mendidik untuk
selalu berada dalam derap pencarian makna sesuatu kebenaran. Paradigma
pendidikan semacam ini sering disebut sebagai pendidikan “produksi kesadaran
kritis”. Lebih lanjut, hasil dari proses pendidikan adalah kesadaran kelas,
kesadaran gender, maupun kesadaran kritis lainnya. Oleh karena itu, pendidikan
lebih merupakan pembebasan manusia. Pendidikan merupakan sarana memproduksi
kesadaran untuk mengembalikan kemanusiaan manusia.
3. Demokrasi
Pendidikan di Indonesia
Gloabalisasi adalah suatu
keniscayaan yang takkan terhindarkan. Dari aspek ekonomi,perekonomian di
Indonesia bergerak ke arah perdagangan bebas, hal ini memperbesar peran
tangan-tangan asing untuk menentukan nasib negara-negara miskin. Aspek social
politik Indonesia bergerak dari sentralisasi kearah desentralisasi, kehidupan
politik dan masyarakat semakin demokratis, kebebasan berpendapat dan berserikat
semakin berkembang, dan pers semakin kokoh. Aspek cultural ditunjukan dengan
adanya perubahan perilaku masyarakat termasuk dalam berkonsumsi. Semakin deras
aliran informasi antar bangsa dan semakin intensnya komunikasi yang terjadi
baik dalam sekala nasional maupun internasional.[11][11]
Globalisasi berdampak luas menyusup
dalam segala aspek kehidupan masyarakat. Dampak tersebut mengakibatkan semakin
terpuruknya negara-negara berkembang dan semakin mengokohkan negara-negara
maju. Hal ini dikarenakan negara-negara maju memegang monopoli lima bidang
yakni, teknologi, pasar uang dunia, kekuasaan untuk memanfaatkan sumberdaya
alam, media komunikasi, senjata penghancur masal.
Globalisasi dan budaya positivisme
membentuk pola pikir materialistik terhadap masyarakat, yang menimbulkan
konsekwensi pendidikan bahwa segala aspek pendidikan akan diarahkan dan
difokuskan untuk mengembangkan pertumbuhan ekonomi sehingga hal-hal yang
bersifat nonekonomik akan dikesampingkan. Hal ini akan membentuk fokus
lembaga pendidikan pada client dan customer yang memiliki arti “donator”.
Sehingga lembaga pendidikan akan senantiasa didikte oleh kekuatan penyandang
dana dan tidak lagi mempersoalkan masalah etika dan pengkajian yang kritis.[12][12] Selain itu lembaga-lembaga pendidikan akan dipegang oleh orang-orang yang
mempunyai modal, dan orang-orang yang kurang mampu akan mendapatkan pendidikan
yang ala kadarnya. Dan terciptalah suatu pandangan bahwa pendidikan milik orang
yang berduit. Dapat dilihat dari Indikasinya, yakni bisnis pendidikan mulai
dirasakan. Maraknya pembukaan program ekstensi atau non-reguler di PTN
(Perguruan Tinggi Negeri) ada kecenderungan untuk memperoleh dana ketimbang
untuk demokratisasi pendidikan. Sehingga pendidikan semakin elitis. Membesarnya
pemungutan biaya yang relatif tinggi tampaknya belum diikuti dengan peningkatan
mutu pendidikan. Karena nuansa bisnisnya semakin menguat, maka orang juga mulai
mempertanyakan eksistensi lembaga pendidikan sebagai lembaga pelayanan publik.
Fenomena lain berbagai gedung pendidikan beralih fungsi menjadi pusat bisnis.
Pelaksanaan demokrasi pendidikan di
indonesia ini sebenarnya telah diatur sejak diproklamasikan kemerdekaan hingga
masa pembangunan saat ini. hal ini tercantum dalam UUD 45 Pasal 31:
a.
Tiap-tiap warga Negara berhak mendapatkan pengajaran.
b.
Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pengajaran
nasional, yang diatur undang-undang.
UU Republik Indonesia Nomor 20 tahun
2003 tentang sistem pendidikan Nasional Pada BAB IV, Pasal 5, ayat 1
menyebutkan: Setiap warga Negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan
yang bermutu.[13][13]
Akan tetapi pada kenyataannya pada
realita yang ada pendidikan di Indonesia masih jauh dari demokrasi. Hal ini
masih banyak dijumpai dalam realitas yang ada di lapangan. Karena masih banyak
ketidak adilan yang terjadi dalam sistem pendidikan di Indonesia.
Bowles dan Grintis menunjukkan
adanya relasi antara sekolah dan ketidakadilan sosial atau antara sekolah dan
reproduksi sosial. Argumennya adalah hampir semua kasus menunjukkan bahwa
mayoritas anak-anak dari golongan kelas menengah atas akan masuk ke dalam
golongan kelas sosial yang sama ketika mereka nanti beranjak dewasa. Hal ini
terjadi karena anak-anak menengah atas punya kapital dan modal untuk
mendapatkan pendidikan yang bagus dan fasilitas yang sangat memadai. Sementara anak-anak
dari masyarakat bawah tidak atau jarang memiliki kesempatan untuk mendapatkan
pendidikan seperti ini. Mayoritas mereka hanya memperoleh pendidikan yang
pas-pasan dengan fasilitas yang tidak memadai. Dengan mendapatkan kualitas
pendidikan seperti itu tentulah mereka ketika dewasa akan mendapatkan
kesempatan yang besar untuk kembali ke kelas sosialnya semula.[14][14] Keadaan seperti itulah yang sat ini dijumpai di Indonesia.
Dengan demikian, yang harus
dipertajam dari teori reproduksi kemudian adalah bagaimana agar sekolah dapat
berfungsi sebagai agen untuk memproduksi sistem sosial yang baru dan adil.
Bagaimana sekolah bisa berperan dalam memperpendek jurang kelas sosial di
masyarakat. Tiada plihan lain untuk merealisasuikan pilihan ini kecuali menjadikan
sekolah sebagai productive force,
bukan reproductive force.
Jika kita lihat realitas pendidikan
di Indonesia, nampak jelas bahwa pendidikan masih jauh dari nilai-nilai
demokrasi. Pendidikan masih bersifat reproduktif, belum menjadi kekuatan
produktif. Ini terlihat dari perbedaan tajam antara sekolah yang bagus dan
mahal (mayoritas dihuni oleh anak dari golongan menegah atas) dengan sekolah
yang kualitasnya pas-pasan dan murah (mayoritas dihuni oleh golongan bawah).
Saat ini hampir sulit ditemukan sekolah negeri yang bagus, apalagi swasta, dari
tingkat dasar sampai tingkat tinggi yang tidak mahal.[15][15]
B. Otonomi Pendidikan
1. Otonomi
Pendidikan di Indonesia
Perubahan sistem pengelolaan pendidikan dari sentralisasi menuju
desentralisasi, suka tidak suka, menuntut perubahan di berbagai aspek.
Tantangan paling pokok tentu saja adalah terselenggaranya suatu tatanan yang
dinamis dalam pergeseran peran dan fungsi operasional yang selama ini berada di
tangan pusat untuk kemudian diserahkan kepada daerah.[16][16]
Secara politis, sebenarnya menguatnya aspirasi bagi otonomisasi dan
disentralisasi pendidikan tidak terlepas dari kenyataan adanya lemahnya konsep
dan praktik penyelenggaraan pendidikan nasional, khususnya selama Orde Baru.
Diantara masalah dan kelemahan dalam konteks ini meliputi:
a) Kebijakan
pendidikan nasional sangat sentralistik dan serba seragam yang akhirnya
mengabaikan keragaman sesuai dengan realitas kondisi ekonomi dan budaya
masyarakat Indonesia di berbagai daerah. Kebijakan pendidikan nasional hampir
tidak memberikan ruang gerak yang memadai bagi masyarakat di wilayah atau
daerah tertentu untuk mengembangka pendidikan yang sesuai dan relevan dengan
daerah dan kebutuhan masyarakat sendiri.
b) Kebijakan dan penyelenggaraan pendidikan
nasional lebih berorientasi pada pencapaian target-target tertentu, seperti
target kurikulum, yang pada gilirannya mengabaikan proses pembelajaran yang
efektif dan mampu menjangkau seluruh ranah dan potensi anak didik. Proses
pembelajaran sangat berorientasi pada ranah kognitif dengan pendekatan
verbalisme dan pada saat yang sama cenderung mengabaikan pembelajaran ranah
afeksi dan pskomotorik.[17][17]
Dalam konteks Indonesia, pendidikan juga harus berperan
meng-Indonesiakan anak bangsa, karena dalam kegagalan tugas ini akan berakibat
pada rapuhnya landasan mental bangsa ini sebagai sebuah bangsa. Dengan
mengambil hikmah pengalaman sejauh ini, kita harus sadar bahwa pendidikan yang
terbukti tidak pernah dapat ditumbuhkan dari bawah tanpa pengertian dan tindakan
yang benar.
Sebagai langkah awal dalam melakukan agenda desentralisasi
pendidikan di era otonomi ini, daerah perlu melakukan analisis-analisis secara
mendalam sistem pendidikan yang sedang berlangsung di daerah masing-masing.
Kebijakan yang akan diambil pemerintah daerah tentu akan berjalan dengan lancar
apabila mereka memahami kelemahan dan kekuatan sistem yang ada. Persoalan yang
terkait dengan itu, biasanya adalah manajemen, kapasitas untuk berubah,
anggaran pendidikan, relevansi kurikulum, perkembangan kebudayaan akan
masyarakat, kualitas pembelajaran serta peserta didik. Analisis secara kritis
dan mendalam ini akan memperlancar guna merumuskan orientasi dan perencanaan
pada tahap selanjutnya hingga pada implementasinya.[18][18]
2. Otonomi
Perguruan Tinggi
Pertanyaan awal dari sub pembahasan mengenai
otonomi perguruan tinggi adalah betulkah ada otonomi perguruan tinggi? Atau
jangan-jangan yang disebut otonomi perguruan tinggi itu hanya eufemisme dari
“privatisasi”. Hanya saja agar rumusan itu tidak menimbulkan gejolak di
masyarakat, maka dibungkus dengan kata yang halus dan menyenangkan. Kecurigaan
ini patut kita kemukakan bahwa wacana tersebut baru bergulir setelah masa
reformasi, terutama bersamaan dengan perubahan status PTN menjadi Badan Hukum
Milik Negara (PT-BHMN).[19][19]
Lazimnya dalam menyikapi setiap kebijakan baru,
selalu ada yang setuju dan tidak setuju. Demikia pula dalam menyikapi kebijakan
perubahan PTN menjadi PT-BHMN. Barisan yang tidak setuju privatisasi ini adalah
para mahasiswa yang menyadari sepenuhnya bahwa kebijakan itu akan berdampak
langsung pada kenaikan biaya pendidikan.[20][20] Bahasa ‘‘Otonomi Perguruan Tinggi” memang telah melunakkan sikap
kritis segenap civitas akademika. Sehingga, tidak pernah mucul pertanyaan
kritis dari mereka mengenai apa dampak otonomi pendidikan tersebut? Yang
sebenarnya malah mengarah kepada privatisasi.
Pemahaman bahwa seolah-olah ada otonomi perguruan
tinggi itu terjsdi tidak hanya di kalangan PTN, tetapi juga di Perguruan Tinggi
Swasta (PTS). Ada yang secara lugu mengatakan bahwa sekarang pemerintah telah
memberikan otonomi kepada PTS untuk mengembangkan diri. Tetapi ada pula yang
mengatakan, sekarang PTS justru semakin tidak otonom, karena kontrol dari
birokrasi yang lebih rendah (Kopertis, misalnya) semakin ketat. Bahkan buklan
itu saja, sekarang ada kekuatan-kekuatan yang tidak teridentifikasi yang bisa
turut melumpuhkan otonomi perguruan tinggi. Diizinkannya pembukaan program
studi atau fakultas baru di sebuah PTS, misalnya, bukan semata-mata ditentukan
oleh kesiapan lembaga calon penyelenggara, tetapi oleh kekuatan-kekuatan yang
tidak teridentifikasi tadi.[21][21]
Bila diminta untuk mengambil sikap maka penulis setuju oleh Prof.
Darmaningtyas dalam bukunya yang berjudul Pendidikan
Rusak-Rusakan termasuk kelompok yang meyakini bahwa Indonesia sekarang ini,
tidak ada otonomi perguruan tinggi, baik PTN maupun PTS. Yang ada hanyalah
ilusi tentang otonomi perguruan tinggi. Manifestasinya, untuk PTN yang ada
hanyalah “privatisasi”, sedangkan untuk PTS komodifikasi. Baik untuk PTN maupun
PTS, yang disebut “otonomi” hanya sebatas soal pembiayaan, sedangkan soal
kewenangan tidak diberikan sepenuhnya. Secara bodon, biayane goleko dewe, ning peraturane aku (pemerintah) sing gawe. PTN/PTS tidak bisa memutuskan
secara independent apa yang ingin mereka kembangkan di perguruannya.[22][22]
Apabila membicarakan mengenai
otonomi pendidikan di perguruan tinggi. Maka kita harus menelaah mengenai issu
yang terkait dengan otonomi pendidikan ini yakni Undang-Undang Nomor 12/2012
tentang pendidikan tinggi sebagai pengganti dari UU BHP yang disinyalir sebagai
wadah komersialisasi pendidikan.
Sebelum UU BHP ditolak oleh Mahkamah Konstitusi, Undang-Undang ini
menjadi perdebatan panjang dikarenakan adanya indikasi komersialisasi
pendidikan yang menjadi muatan didalamnya.
Ada beberapa pertimbangan pada waktu itu mengapa pemerintah berupaya
menggolkan kebijakan BHP. Pertama, BHP akan mendorong pendidikan Nasional,
utamanya perguruan tinggi, menuju world
class univercity sebab akan diberikan otonomi kampus yang seluas-luasnya
dalam hal akademik, keuangan, administrasi, personalia, dan yang lainnya.
Kedua, negara mengalami kesulitan dalam memenuhi anggaran belanja negara di
bidang pendidikan. Kondisi seperti ini tenu saja akan mempengaruhi pendidikan
di Indonesia. Oleh karena itu, dengan BHP diharapkan tanggung jawab pendidikan
tidak sepenuhnya menjadi tanggungan pemerintah tetapi menjadi tanggung jawab
masyarakat. Ketiga, globalisasi menuntut adanya kompetisi, transparansi dan
aturan sesuai dengan sistem pasar. Untuk menghadapinya perlu restrukturisasi
pendidikan agar akuntabilitas, efisiensi, transparansi, dan mutu lebih
terjamin.[23][23]
Dari argumen yang dibangun pemerintah soal BHP tampak jelas bahwa
pemerintah akan mengurangi tanggungjawabnya dalam bidang pendidikan dengan
alasan tidak bisa memenuhi anggaran belanja negara dibidang pendidikan. Otonomi
bisa jadi merupakan kedok untuk mengurangi tanggung jawab pemerintah dibidang
pendidikan.
Peran Bank Dunia terhadap pengembangan pendidikan pada umumnya
maupun pendidikn tinggi pada khususnya di tanah air kiranya memang signifikan,
sebab menurut pengakuannya Indonesia merupakan “the Bank’s largest and most
diversified education program ever undertaken” alias negara penerima pinjaman
terbesar untuk pengembangan program pendidikan paling beraneka ragam yang
pernah dilayani oleh Bank Dunia.[24][24] Dengan masuknya Bank dunia dalam urusan pendidikan di Indonesia
maka perlu ada kritisisme terhadap fenomena apa yang sebenarnya terjadi. Karena
dimanapun bank akan selalu mencari provit. Maka kemudian tidak salah kalu
pendidikan di perguruan tinggi akan menjadi mahal dan tidak terjangkau oleh
kalangan kelas bawah.Ini kemudian menunjukkan bahwa memang praktek liberalisai
pendidikan memang benar adanya.
Paradigma baru pendidikan tinggi pada dasarnya bertumpu pada pilar
utama yakni kemandirian dalam pengelolaan atau otonomi, akuntabilitas (accountabilty), dan jaminan mutu (quality assurance). Pilar-pilar tersebut
merupakan sebagian dari prinsip-prinsip new
managerialism yang ditelurkan oleh pahan neoliberalisme dan yang
dipromosikan oleh khususnya trio lembaga Bretton
Woods, yaitu Bank Dunia, IMF dan WTO.[25][25]
Jejak-jejak kebijakan trio Bretton
Woods tentang pengembangan pendidikan tinggi di negara berkembang dalam UU
Nomor 12/2012 beserta sejumlah problem yang muncul antara lain sebagai berikut:[26][26]
1. Jejak penekanan pada daya saing bisa ditemukan dalam Pasal 4.b,
Ps.5.b, dan Ps.46.c. Namun daya saing ini lazimnya dikaitkan dengan penguasaan
ilmu pengetahuan dan teknologi (Ps.10.1, dan Ps.45) dalam percaturan ekonomi
dan pergaulan masyarakat berbasis pengetahuan
(Ps.46.e). Tentu saja dalam konteks percaturan global semua ini
merupakan realitas yang tidak terelakkan, namun sebagaimana diingatkan oleh
sejumlah pengamat pemenuhan tuntutan globalisasi tersebut tidak boleh
mengorbankan tuntutan untuk dalam waktu yang bersamaan memperkuat formasi
sosial atau pengembangan masyarakat dalam diri bangsa yang bersangkutan.
2. Jejak penekanan pada diferensiasi institusi dan stratifikasi bisa
kita temukan dalam Ps.15 s.d. Ps.25 serta Ps.59. Namun perlu diingatkan bahwa
keleluasaan untuk melakukan diferensiasi dan stratifikasi ini dikaitkan dengan
pemanfaatan kekuatan yang dimiliki oleh suatu lembaga pendidikan tinggi. Bila
tidak dikendalikan secara arif, Liberalisasi ini bisa memunculkan sejenis
Darwinisme sosial manakala institusi-institusi yang kuat (PTN maupun PTS) bisa
mengambil semua peluang untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dengan akibat mematikan
istitusi-institusi yang lemah-kecil (PTS) di satu pihak., serta mendorong
institusi-institusi hanya berkonsentrasi pada pengembangan bidang-bidang
disiplin yang langsung terkait dengan dunia bisnis-industri serta mengabaikan
bidang-bidang disiplin lain yang mungkin kurang laku namun mutlak diperlukan
bagi formasi sosial masyarakat kita.
3. Jejak penekanan pada standarisasi dan akreditasi dalam kaitannya
dalam sistem penjaminan mutu dan kerja sama internasional atau
internasionalisasi bisa kita temukan dalam Ps.29, Ps.40, Ps.50, Ps.51, Ps.55,
Ps.75, dan Ps.90. Peningkatan dan penetapan standar mutu yang tinggi dala
pendidikan tinggi memang penting. Namun sebagaimana telah diingatkan oleh
sejumlah pengamat, standarisasi mutu dalam konteks internasionalisai dan
globalisasi cenderung hanya akan menguntungkan institusi-institusi kuat di
negara-negara industri maju. Pasalnya, standar kualitas yang dimaksud pasti
akan datang dari negara-negara maju. Melalui internasionalisasi perguruan
tinggi dalam kerangka GATS (General
Agreement on Trade in Services) dan
WTO, institusi-institusi di negara-negara sedang berkembang akan kehilangan
kebebasan akademinya dan akan menjadi penonton atau bahkan korban dari kegiatan
impor-ekspor serta homogenitas pendidikan tinggi yang dilakukan oleh institusi
dari negara-negara industri maju. Situasi serupa diduga akan terjadi dalam
relasi antara institusi-institusi kuat (PTN dan PTS) dan institusi-institusi
lemah (PTS) di tanah air.
4. Jejak penekanan pada otonomi khususnya terkait dengan akuntabilitas,
efisiensi dan pendanaan bisa kita temukan dalam Ps. 62 s.d. Ps.65. Ps. 76(3),
Ps.78, Ps.79, Ps.83 s.d.87 dan Ps.89(1). Lewat otonomi dan privatisasi Bank
Dunia menakankan antara lain pentingnya institusi pendidikan tinggi (khususnya
PTN) melepaslkan diri dari ketergantungan pendanaan dari pemerintah untuk
selanjutnya menggalang dan mengelola sendiri sumber-sumber dana lain termasuk
dari mahasiswa dengan menerapkan sejumlah prinsip seperti akuntabilitas
sebagaimana juga tercantum dalam Ps.63. Dalam hal ini, langkah pemerintah untuk
menyimpang dari arah Bank Dunia dengan berkomitmen untuk menyediakan dana
pendidikan tinggi lewat APBN seperti tercantumdalam Ps. 83 kiranyab perlu
diapresiasi namun tetap perlu dikawal realisasinya, sebab pada bagian lain
tetap tercantum kemungkinan perguruan tinggi berperan serta dalam pendanaan
termasuk dari sumber mhasiswa (Ps.85) seperti disarankan oleh Bank Dunia.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan:
Dengan melihat UU Republik Indonesia
Nomor 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan Nasional Pada BAB IV, Pasal 5,
ayat 1 yang menyebutkan bahwa ”Setiap warga Negara mempunyai hak yang sama
untuk memperoleh pendidikan yang bermutu”. Maka cita-cita yang ada pada UU
SISDIKNAS tersebut masih belum terrealisasi dalam kenyataan pendidikan di
Indonesia. Dengan melihat realitas pendidikan di Indonesia, nampak jelas bahwa
pendidikan masih jauh dari nilai-nilai demokrasi. Pendidikan masih bersifat
reproduktif, belum menjadi kekuatan produktif. Ini terlihat dari perbedaan
tajam antara sekolah yang bagus dan mahal (mayoritas dihuni oleh anak dari
golongan menegah atas) dengan sekolah yang kualitasnya pas-pasan dan murah
(mayoritas dihuni oleh golongan bawah). Saat ini hampir sulit ditemukan sekolah
negeri yang bagus, apalagi swasta, dari tingkat dasar sampai tingkat tinggi
yang tidak mahal.
Mengenai otonomi pendidikan di
perguruan tinggi Indonesia sekarang ini, sebenarnya
tidak ada otonomi perguruan tinggi, baik PTN maupun PTS. Yang ada hanyalah
ilusi tentang otonomi perguruan tinggi. Karena apa yang disebut otonomi itu
sebenarnya lebih condong ke arah privatisasi. Kemudian dalam perjalanannya UU
No 12/2012 sebagai jawaban atas ditolaknya UU BHP juga masih mengindikasikan
adanya campur tangan pihak asing dalam hal ini adalah trio Bratton Wood yang pada ujung-ujungnya dalah adanya liberalisasi
pendidikan tinggi.
DAFTAR
PUSTAKA
A. Supratiknya, Undang-Undang Nomor 12/2012 Tentang
Pendidikan Tinggi: beberapa Catatan Kritis
Assegaf ,
Abd.Rachman dan Djohar, Pendidikan Transformatif,
Yogyakarta: Teras, 2010
Darmaningtyas,
Pendidikan Rusak-Rusakan, Yogyakarta:
LkiS, 2005
Karim, Rusli, “Pendidikan Islam
Sebagai Upaya Pembebasan Manusia” dalam Muslih Usa (ed), Pendidikan Islam di Indonesia ; Antara Cita dan Fakta, Yogyakarta
; Tiara Wacana, 1999
Langgulung, Hasan, Beberapa
Pemikiran Tentang Pendidikan Islam, Bandung ;
al-Maarif, 1980
Machfudin, “Antara
Konsientasi, Masifikasi dan Gnosiologi Dalam Pendidikan”, Jurnal Insania No
2 Th I, Purwokerto: IAIN Walisongo Fak. Tarbiyah Purwokerto, 1996
Nuryano, M.
Agus, Mazhab Pendidikan Kritis Menyikap Relasi Pengetahuan Politik dan
Kekuasaan, Yogyakarta : Resist Book,2008
Rosyada,
Dede, Paradigna Pendidikan Demokratis,
Jakarta: Kencana, 2007
Saksono, Gatut, Pendidikan Yang Memerdekakan, Yogyakarta: Diandra Primamitra Media,
2008
Sindhunata,Menggagas paradigma Baru pendidikan,Yogyakarta:
kanisius,2000
UU SISDIKNAS No 20 Tahun 2003
Zamroni, Pendidikan dan demokrasi dalam transisi, Jakarta:
PSAP , 2007
[3][3] Gatut Saksono, Pendidikan Yang
Memerdekakan, (Yogyakarta: Diandra Primamitra Media, 2008), hlm.50.
[7][7]
Dalam Islam, secara normative disandarkan pada sebuah hadits Nabi “Tuntutlah
ilmu dari buaian sampai ke liang lahat”.
[8][8]
Hasan Langgulung,Beberapa Pemikiran Tentang Pendidikan Islam, (Bandung
; al-Maarif, 1980), hlm. 92.
[9][9]
Rusli Karim, “Pendidikan Islam Sebagai Upaya Pembebasan Manusia” dalam
Muslih Usa (ed), Pendidikan Islam di Indonesia ; Antara Cita dan
Fakta, (Yogyakarta ; Tiara Wacana, 1999), hlm. 28
[10][10] Machfudin, “Antara Konsientasi, Masifikasi dan Gnosiologi Dalam
Pendidikan”, dalam Jurnal Insania No 2 Th I(Purwokerto: IAIN Walisongo
Fak. Tarbiyah Purwokerto, 1996), hlm. 8.
[14][14] M. Agus
Nuryano, Mazhab Pendidikan Kritis Menyikap Relasi Pengetahuan Politik dan
Kekuasaan, (Yogyakarta : Resist Book,2008) hlm. 62.
[16][16] Djohar dan Abd.Rachman Assegaf, Pendidikan
Transformatif, (Yogyakarta: Teras, 2010), hlm.180.
[24][24] A. Supratiknya, Undang-Undang Nomor
12/2012 Tentang Pendidikan Tinggi: beberapa Catatan Kritis, hlm.2, pada
makalah yang disampaikan dalam seminar Nasional “Menyongsong Undang-Undang
Pendidikan Tinggi: Peluang, Harapan, dan Tatangan Untuk Indonesia”, tanggal 10
November 2012.
0 komentar: