Otonomi daerah dan kualitas pendidikan oleh : IRWAN SALEH DALIMUNTHE

Otonomi Daerah dan Kualitas Pendidikan
 oleh :
IRWAN SALEH DALIMUNTHE


                                                                           Penulis adalah Wakil Ketua STAIN Padangsidimpuan
 

Makna dari demokratisasi pendidikan adalah adanya otoritas pemerintah dan masyarakat di daerah dalam mengembangkan pendidikan.

Sejak pola kepemimpinan Indonesia memasuki babakan baru dari kekuasan Orde Baru yang dianggap sangat korup itu, kepada era reformasi, kehidupan politik dan kemasyarakatan nasionalpun ikut berubah. Ketika saat ini suara masyarakat cukup berpengaruh dalam mewarnai kehidupan berbangsa, bergeser jauh dari dulu suara rakyat demikian terbelenggu. Bahkan nyawa manusia sekalipun nyaris tiada harga, antara lain soal penanganan pendidikan, sebagai wujud kembalinya hak-hak rakyat. Kini pengelolaannya diserahkan kepada masyarakat/daerah dalam arti telah diotonomikan.
Dengan lahirnya UU-RI No. 22 Tahun 1999 tentang otonomi daerah sebagai salah satu aspek dibukanya pintu bagi masyarakat untuk menentukan jalannya pembangunan daerah. Maka pendidikan telah ikut menghirup udara baru itu. Sehingga daerah dengan segala potensi yang ada dapat menikamati era baru yakni demokratisasi pendidikan, dengan segala kreatifitasnya memungkinkan mengembangkan pola pendidikan khas daerah dengan tetap memenuhi rambu-rambu nasional.

Karena makna dari demokratisasi pendidikan adalah adanya otoritas pemerintah dan masyarakat di daerah dalam mengembangkan pendidikan--dengan ketentuan bahwa pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa. Artinya: pendidikan diselenggrakan dengan keterlibatan masyarakat dan otoritas pengelola serta institusi-institusi pendukungnya. Bersamaan dengan itu pula masyarakat berhak berperan serta dalam perencanaan, pelaksanaan, pengawasan dan evaluasi pendidikan, sesuai amanat pasal 4 ayat 1 dan 9 UU No. 20 Tahun 2003 tenatang Sisdiknas.
Demokratisasi pendidikan, seperti disebutkan dimuka bahwa pendidikan, dalam bahasa lain, mereformasi dirinya sendiri sesuai tuntutan demokratisasi dan terutama perbaikan institusi pencetak aset masa depan bangsa. Konsep desentralisasi yang diusung pemerintah dan didukung berbagai elemen demokrasi di negeri ini melahirkan berbagai kebijakan yang memiliki implikasi positif terhadap pendidikan nasional.
Demokratisasi dan desentralisasi pendidikan itu paling tidak dua hal yang harus ditanggungjawabi setiap daerah: Pertama, desentralisasi kewenangan di sektor pendidikan. Desentralisasi lebih kepada kebijakan pendidikan dan aspek pendanaannya dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah. Kedua, desentralisasi pendidikan dengan fokus pada pemberian kewenangan yang lebih besar di tingkat sekolah.
Saat ini, sejak 1998 reformasi bergulir, katakan sajalah 10 tahun terakhir memasuki babakan itu, yakni dua kali masa kepemimpinan di daerah tingkat kabupaten/kota. Sudah patut kebijakan pada wilayah pendidikan dievaluasi secara mengakar, dengan pertanyaan; (1). Pahamkah Pemda dan seluruh stakeholders tentang kewengannya menentukan masa depan generasi muda lewat rekayasa pendidikan daerah yang diamanatkan di pundaknya? (2). Sudah sejauh mana Pemda dan elemen stakeholders membina dan mengajak masyarakat untuk bertanggungjawab penuh merancang, mengelola, dan mengevaluasi jalan pendidikan generasi mudanya?
Melihat peran tersebut berjalan atau tidak, bisa dilihat dari beberapa indikator: (1). Kebijakan daerah tentang pendidikan adalah tanggung jawab masyarakat--dalam makna masyarakat menjadi penentu--sementara pemerintah menjadi pasilitator. Wujud itu nyata ditemukan ketika Dewan Pendidikan sebagai organisasi masyarakat. Karena amanat UU Sisdiknas lembaga inilah yang bekerja menampung ide dari elemen masyarakat dan stakeholders tentang urusan pengembangan pendidikan. Bukan saja lembaga formal tapi termasuk memikirkan agar daerah punya kebijakan tentang sadar pendidikan yang dicerminkan di denyut jantung kehidupan yaitu dirumah tangga, di lingkungan, di jalanan, di pasar perbelanjaan, di mal, tempat rekreasi dsb yang ada di wiliyah bersangkutan.
Dalam artian, pemerintah atau dalam hal ini bupati atau walikota dengan dinas pendidikan sebagai lembaga khususnya, bukanlah penentu kebijakan pendidikan karena pendidikan itu adalah miliknya masyarakat. Dewan Pendidikanlah dapur atau bengkel pemikirnya sementara pemerintahan adalah lembaga pendorong dan fasilitator kepentingan dan kehendak masyarakat yang akan di legalisasi dan diawasi para anggota DPRD. Perlu dipahami bahwa dalam paradigma baru pendidikan demokratis, pemerintah itu bukanlah penguasa akan tetapi pelayan masyarakat. Sehingga mereka berhak, dan diberi fasilitas masyarakat agar nyaman bertugas lewat penagihan pajak atau iuran lain yang sumbernya masyarakat. Inilah makna aparatur dan pegawai negeri adalah abdi masyarakat karena untuk kepentingan itulah mereka diangkat dan digaji.
(2). Pengelolaan sekolah sebagai lembaga pendidikan formal. Pada era reformasi sesungguhnya masyarakat sudah diberi peran penentu sehingga setiap sekolah harus dibina, dikembangkan dan dievaluasi oleh masyarakat. Dalam kepentingan itu pulalah bahwa pada setiap satuan atau tingkatan sekolah diamanatkan UU untuk membentuk Komite Sekolah, yakni Komite Masyarakat untuk membangun mutu sekolah. Dengan pola ini manajemen sekolah mengikuti arus demokrasi dan otonomi sekolah yang dikenal dengan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS). Artinya setiap sekolah diberi kebebasan menetapkan pola kepemimpinan yang yang sesuai kesepakatan sekolah dengan masyarakat. Maka kepala sekolah wajib bersinergis dengan masyarakat dan stakeholders dalam mengelola sekolah. Dengan jalan inilah setiap sekolah akan dapat terukur kinerjanya secara akurat dan dapat menuju dinamika yang transparan.
Akan tetapi sayang sekali ketika kebijakan otonomi pendidikan ini digulirkan, ternyata terdapat dua kendala yang amat mengejutkan semua pihak karena kedua fenomena ini di luar dugaan para pelaku reformasi di negara kita. Kedua penghambat itu adalah : Pertama, ketidaksiapan masyarakat untuk menata diri sendiri. Ternyata arus demokrasi dan diberikannya hak-hak penuh bagi masyarakat ternyata membuat masyarakat guncang dan dalam posisi bingung. Lihat saja contohnya dalam merespon dibentuk dan diperankannnya Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah, ternyata dapat menjadi sumber masalah. Sehingga peran kedua lembaga masyarakat ini hampir tidak demikian signifikan. Bahkan Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah yang terpilih pun hampir nyaris tidak memahami makna otonomi dan demokrasi pendidikan yang hakiki. Sehingga sering terjadi lembaga ini menjadi ajang merebut kekuasaan.
Kedua, ditemukannya fenomena bahwa pemerintah daerah kabupaten/kota, sepertinya tidak memahami hakekat memimpin pada alam demokrasi dan otonomisasi. Sehingga pola kepemimpinan di daerah adalah kepemimpinan ningrat (raja-raja kecil), tidak jarang mereka memerankan kepemimpinan untuk urusan sekolah. Sebut saja contoh dalam mengangkat kepala sekolah, yang seyogianya adalah hak Komite Sekolah dengan pihak sekolah, justru dirampas birokrasi penguasa. Sehingga apa yang sering diisukan di media massa--untuk bisa jadi Kepala Sekolah di era otonomi ini harus mengikuti sistim dagang dalam bursa promosi jabatan, atau minimal rela menanggung sewa lahan ladang jabatan dimaksud--hampir saja dapat diterima akal.
Karena sudah terbangun logika setiap jabatan di daerah adalah lahan yang diperdagangkan. Maka jangan terlalu heran bila sampai hari ini masih ada daerah tingkat II (paling tidak di wilayah Tabagsel) sama sekali belum pernah mengajak stakeholders, tokoh agama, budaya, akademisi dunia usaha dan lainnya untuk urun rembuk sekitar arah dan warna pendidikan termasuk memfasilitasi Dewan Pendidikan untuk berfungsi optimal.
Bila itulah yang terjadi, maka otonomi pendidikan itu sangat mengkhawatirkan karena bukanlah semakin menghasilkan insan daerah yang lebih berkualitas, tapi justru semakin mengerikan. Sebab unsur moral dari hakikat atau wujud yang paling inti dari hasil akhir pendidikan telah dirusak secara sengaja. Mudah-mudahan ini hanyalah sekedar isu di kedai kopi. Tapi bila itulah yang sebenarnya, otonomi daerah dan demokratisasi perlu dievaluasi dan mungkin tawaran dari pakar otonomi Prof. Riyas Rasyid bahwa otonomi daerah itu tidak cocok di tingkat II tapi harus di tingkat provinsi patutlah disambut. Karena sampai hari ini otonomi daerah khususnya reformasi pendidikan sesungguhnya tersumbat oleh ketidakmauan dan ketidaktauan di daerah tingkat kabupaten/kota.



Posted By   Pakdhe Keong
                   01 Desember 2014  
Sumber      : 

0 komentar: