PENDIDIKAN BERBASIS MULTIKULTURAL DAN PERDAMAIAN
PENDIDIKAN
BERBASIS MULTIKULTURAL DAN PERDAMAIAN
A. Pendahuluan
Perkembangan pembangunan nasional
dalam era industrialisasi di Indonesia telah memunculkan side effect yang tidak dapat terhindarkan
dalam masyarakat. Konglomerasi dan kapitalisasi dalam kenyataannya telah
menumbuhkan bibit-bibit masalah yang ada dalam masyarakat seperti ketimpangan
antara yang kaya dan yang miskin, masalah pemilik modal dan pekerja, kemiskinan,
perebutan sumber daya alam dan sebagainya. Di tambah lagi kondisi masyarakat
Indonesia yang plural baik dari suku, agama, ras dan geografis memberikan
kontribusi terhadap masalah-masalah sosial seperti ketimpangan sosial, konflik
antar golongan, antar suku dan sebagainya.
Kondisi masyarakat Indonesia yang sangat plural baik
dari aspek suku, ras, agama serta status sosial memberikan kontribusi yang luar
biasa terhadap perkembangan dan dinamika dalam masyarakat. Kondisi yang
demikian memungkinkan terjadinya benturan antar budaya, antar ras, etnik, agama
dan nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat. Kasus Ambon, Sampit, konflik
antara FPI dan kelompok Achmadiyah, dan sebagainya telah menyadarkan kepada
kita bahwa kalau hal ini terus dibiarkan maka sangat memungkinkan untuk
terciptanya disintegrasi bangsa
Untuk itu dipandang sangat penting
memberikan porsi pendidikan multikultural sebagai wacana baru dalam sistem
pendidikan di Indonesia terutama agar peserta didik memiliki kepekaan dalam
menghadapi gejala-gejala dan masalah-masalah sosial yang berakar pada perbedaan
kerena suku, ras, agama dan tata nilai yang terjadi pada lingkungan
masyarakatnya. Hal ini
dapat diimplementasi baik pada substansi maupun model pembelajaran yang mengakui
dan menghormati keanekaragaman budaya.
B. Pembahasan
1.
Memahami pendidikan multikultural
Akar pendidikan multikultural,
berasal dari perhatian seorang pakar pendidikan Amerika Serikat Prudence
Crandall (18-3-1890) yang secara intensif menyebarkan pandangan tentang arti
penting latar belakang peserta didik, baik ditinjau dari aspek budaya, etnis,
dan agamanya. Pendidikan yang memperhatikan secara sungguh-sungguh latar
belakang peserta didik merupakan cikal bakal bagi munculnya pendidikan
multikultural.
Secara etimologi istilah pendidikan
multikultural terdiri dari dua term, yaitu pendidikan dan multikultural.
Pendidikan berarti proses pengembangan sikap dan tata laku seseorang atau
kelompok dalam usaha mendewasakan melalui pengajaran, pelatihan, proses dan
cara mendidik. Dan multikultural diartikan sebagai keragaman kebudayaan, aneka
kesopanan.
Sedangkan secara terminologi,
pendidikan multikultural berarti proses pengembangan seluruh potensi manusia
yang menghargai pluralitas dan heterogenitasnya sebagai konsekwensi keragaman
budaya, etnis, suku dan aliran (agama). Pengertian seperti ini mempunyai
implikasi yang sangat luas dalam pendidikan, karena pendidikan dipahami sebagai
proses tanpa akhir atau proses sepanjang hayat. Dengan demikian, pendidikan
multikultural menghendaki penghormatan dan penghargaan setinggi-tingginya
terhadap harkat dan martabat manusia.
Konsep pendidikan multikultural
dalam perjalanannya menyebar luas ke kawasan di luar AS khususnya di
negara-negara yang memiliki keragaman etnis, rasionalisme, agama dan budaya
seperti di Indonesia. Sedangkan wacana tentang pendidikan multikultural,
secara sederhana dapat didefenisikan sebagai "pendidikan untuk/tentang
keragaman kebudayaan dalam meresponi perubahan demografis dan kultural
lingkungan masyarakat tertentu atau bahkan dunia secara
keseluruhan".
Hal ini sejalan dengan pendapat
Paulo Freire, pendidikan bukan merupakan "menara gading" yang
berusaha menjauhi realitas sosial dan budaya. Pendidikan menurutnya, harus
mampu menciptakan tatanan masyarakat yang terdidik dan berpendidikan, bukan
sebuah masyarakat yang hanya mengagungkan prestise sosial sebagai akibat
kekayaan dan kemakmuran yang dialaminya. Pendidikan multikultural
(multicultural education) merupakan respon terhadap perkembangan keragaman
populasi sekolah, sebagaimana tuntutan persamaan hak bagi setiap kelompok. Dan
secara luas pendidikan multikultural itu mencakup seluruh siswa tanpa
membedakan kelompok-kelompoknya seperti gender, etnik, ras, budaya, strata
sosial dan agama.
Selanjutnya James Bank, -salah
seorang pioner dari pendidikan multikultural dan telah membumikan konsep
pendidikan multikultural menjadi ide persamaan pendidikan- mengatakan bahwa
substansi pendidikan multikultural adalah pendidikan untuk kebebasan (as
education for freedom) sekaligus sebagai penyebarluasan gerakan inklusif dalam
rangka mempererat hubungan antar sesama (as inclusive and cementing movement).
Mengenai fokus pendidikan
multikultural, Tilaar mengungkapkan bahwa dalam program pendidikan
multikultural, fokus tidak lagi diarahkan semata-mata kepada kelompok rasial,
agama dan kultural domain atau mainstream. Fokus seperti ini pernah menjadi
tekanan pada pendidikan interkultural yang menekankan peningkatan pemahaman dan
toleransi individu-individu yang berasal dari kelompok minoritas terhadap
budaya mainstream yang dominan, yang pada akhirnya menyebabkan orang-orang dari
kelompok minoritas terintegrasi ke dalam masyarakat mainstream. Pendidikan
multikultural sebenarnya merupakan sikap "peduli" dan mau mengerti
(difference), atau "politics of recognition" politik pengakuan
terhadap orang-orang dari kelompok minoritas.
Menurut Sosiolog UI Parsudi Suparlan,
Multikulturalisme adalah konsep yang mampu menjawab tantangan perubahan zaman
dengan alasan multikulturalisme merupakan sebuah idiologi yang mengagungkan
perbedaaan budaya, atau sebuah keyakinan yang mengakui dan mendorong
terwujudnya pluralisme budaya sebagai corak kehidupan masyarakat.
Multikulturalisme akan menjadi pengikat dan jembatan yang mengakomodasi
perbedaan-perbedaan termasuk perbedaan kesukubangsaan dan suku bangsa dalam
masyarakat yang multikultural. Perbedaan itu dapat terwadahi di tempat-tempat
umum, tempat kerja dan pasar, dan sistem nasional dalam hal kesetaraan derajat
secara politik, hukum, ekonomi, dan sosial.
Melihat dan memperhatikan
pengertian pendidikan multikultural di atas, dapat diambil beberapa pemahaman,
antara lain; pertama, pendidikan multikultural merupakan sebuah proses
pengembangan yang berusaha meningkatkan sesuatu yang sejak awal atau sebelumnya
sudah ada. Karena itu, pendidikan multikultural tidak mengenal batasan atau
sekat-sekat sempit yang sering menjadi tembok tebal bagi interaksi sesama
manusia;
Kedua, pendidikan
multikultural mengembangkan seluruh potensi manusia, meliputi, potensi
intelektual, sosial, moral, religius, ekonomi, potensi kesopanan dan budaya.
Sebagai langkah awalnya adalah ketaatan terhadap nilai-nilai luhur. Pluralitas
dan heterogenitas adalah sebuah keniscayaan ketika berada pada masyarakat
sekarang ini. Dalam hal ini, pluralitas bukan hanya dipahami keragaman etnis
dan suku, akan tetapi juga dipahami sebagai keragaman pemikiran, keragaman
paradigma, keragaman paham, keragaman ekonomi, politik dan sebagainya. Sehingga
tidak memberi kesempatan bagi masing-masing kelompok untuk mengklaim bahwa
kelompoknya menjadi panutan bagi pihak lain. Dengan demikian, upaya pemaksaan
tersebut tidak sejalan dengan nafas dan nilai pendidikan multikultural.
Keempat, pendidikan yang
menghargai dan menjunjung tinggi keragaman budaya, etnis, suku dan agama.
Penghormatan dan penghargaan seperti ini merupakan sikap yang sangat urgen
untuk disosialisasikan. Sebab dengan kemajuan teknologi telekomunikasi,
informasi dan transportasi telah melampaui batas-batas negara, sehingga tidak
mungkin sebuah negara terisolasi dari pergaulan dunia. Dengan demikian,
privilage dan privasi yang hanya memperhatikan kelompok tertentu menjadi tidak
relevan. Bahkan bisa dikatakan “pembusukan manusia” oleh sebuah kelompok.
2. Urgensi
Pendidikan Multikultural di Indonesia..
Manusia dan pendidikan adalah dua
hal yang tidak dapat dipisahkan. Manusia sepanjang hidupnya melaksanakan
pendidikan. Bila pendidikan bertujuan membina manusia yang utuh dalam semua
segi kemanusiaannya, maka semua segi kehidupan manusia harus bersinggungan
dengan dimensi spiritual (teologis), moralitas, sosialitas, emosionalitas,
rasionalitas (intelektualitas), estetis dan fisik. Namun realitanya, proses
pendidikan kita masih banyak menekannkan pada segi kognitf saja, apalagi hanya
nilai-nilai ujian yang menjadi standar kelulusan, sehingga peserta didik tidak
berkembang menjadi manusia yang utuh. Akibat selanjutnya akan terjadi beragam
tindakan yang tidak baik seperti yang akhir-akhir ini terjadi: tawuran, perang,
penghilangan etnis, ketidakadilan, kesenjangan ekonomi, korupsi,
ketidakjujuran, dan sebagainya.
Berdasarkan kenyataan tersebut,
maka keberadaan pendidikan multikultural sebagai strategi pendidikan yang
diaplikasikan pada semua jenis mata pelajaran, dengan cara menggunakan
perbedaan-perbedaan kultural yang ada pada siswa sangat diperlukan, dengan
pertimbangan sebagai berikut:
a. Pendidikan
multikultural secara inheren sudah ada sejak bangsa Indonesia ada. Falsafah
bangsa Indonesia adalah suka gotong royong, membantu, menghargai antara suku
dan lainnya.
b. Pendidikan
multikultural memberikan secercah harapan dalam mengatasi berbagai gejolak
masyarakat yang terjadi akhir-akhir ini. Keberhasilan pendidikan dengan
mengabaikan ideologi, nilai-nilai, budaya, kepercayaan dan agama yang dianut
masing-masing suku dan etnis harus dibayar mahal dengan terjadinya berbagai
gejolak dan pertentangan antar etnik dan suku. Salah satu penyebab munculnya
gejolak seperti ini, adalah model pendidikan yang dikembangkan selama ini lebih
mengarah pada pendidikan kognitif intelektual dan keahlian psikomotorik yang
bersifat teknis semata. Padahal kedua ranah pendidikan ini lebih mengarah
kepada keahlian yang lepas dari ideologi dan nilai-nilai yang ada dalam tradisi
masyarakat, sehingga terkesan monolitik berupa nilai-nilai ilmiah akademis dan
teknis empiris. Sementara menurut pendidikan multikultural, adalah pendidikan
yang senantiasa menjunjung tinggi nilai-nilai keyakinan, heterogenitas,
pluralitas agama apapun aspeknya dalam masyarakat.
c. Pendidikan
multikultural menentang pendidikan yang berorientasi bisnis. Pendidikan yang
diharapkan oleh bangsa Indonesia sebenarnya bukanlah pendidikan ketrampilan
semata, melainkan pendidikan yang harus mengakomodir semua jenis kecerdasan,
yang sering disebut kecerdasan ganda (multiple intelligence). Menurut Howard
Gardner, kecerdasan ganda yang perlu dikembangkan secara seimbang adalah
kecerdasan verbal linguistic, kecerdasan logika matematika, kecerdasan yang
terkait dengan spasial Ruang, kecerdasan fisik kinestetik, kecerdasan dalam
bidang musik, kecerdasan yang terkait dengan lingkungan alam, kecerdasan
interpersonal dan kecerdasan intrapersonal. Jadi, jika ketrampilan saja yang
dikembangkan maka pendidikan itu jelas berorientasi bisnis.
d. Pendidikan
multikultural sebagai resistensi fanatisme yang mengarah pada jenis kekerasan.
Kekerasan muncul ketika saluran perdamaian sudah tidak ada lagi.
Dengan demikian, pendidikan multikultural
sekaligus untuk melatih dan membangun karakter siswa agar mampu bersikap
demokratis, humanis, dan pluralis di lingkungan mereka.
3. Pendekatan Pendidikan Multikulturalisme
Menyusun pendidikan
multikulturalisme
dalam tatanan masyarakat yang penuh permasalahan antar kelompok mengandung
tantangan yang tidak ringan. Pendidikan multikulturalisme tidak berarti sebatas
“ merayakan keragaman” belaka. Apalagi jika tantanan masyarakat yang ada masih
penuh diskriminasi dan bersifat rasis.
Sebagaimana sebuah
upaya dalam mencapai tujuan, maka pelaksanaan pendidikan juga memerlukan
pendekatan-pendekatan yang memungkinkan dapat membantu mencapai hasil
pendidikannya.
Ada enam pendekatan
dalam proses pendidikan multikulturalisme, yaitu:
Pertama, pendekatan paedagosis(pedagodisme), pendekatan ini
bertitik tolak dari pandangan bahwa anak akan dibesarkan menjadi orang dewasa
melalui pendidikan. Pendekatan ini sangat menghormati setiap tahap perkembangan
anak menuju kedewasaan.
Kedua, pendekatan filosofis(filosofisme), pendekatan ini
bertitik tolak dari pertentangan mengenai hakikat manusia dan hakikat anak.
Anak memiliki hakikatnya sendiri demikian juga dengan orang dewasa. Pandangan
filosofis ini melahirkan suatu ilmu pendidikan yang melihat hakikat anak
sebagai titik tolak proses pendidikan.
Ketiga, pendekatan religius(religionisme), pendekatan ini
memandang manusia sebagai makhluk religius. Dengan demikian hakikat pendidikan
adalah membawa peserta didik menjadi manusia yang religius. Sebagai makhluk
ciptaan Tuhan peserta didik harus dipersiapkan untuk hidup sesuai deangan
harkatnya untuk bertuhan.
Keempat, pendekatan Psikologis(psikologisme), pandangan ini
lebih memacu pada masuknya psikologi ke dalam bidang ilmu pendidikan. Oleh karena
itu, pendekatan ini cenderung mereduksi ilmu pendidikan menjadi ilmu proses
belajar mengajar. Bagaimana anak dibesarkan melalui proses belajar mengajar
berdasarkan pada usia perkembangan dan kemampuannya.
Kelima, pendekatan Negativis(Negativisme), pendekatan ini
menyatakan tugas pendidik adalah menjaga pertumbuhan anak. Kemudian pendidikan
sebagai usaha mengembangkan kepribadian peserta didik untuk membudayakn
individu. Pandangan ini dianggap sebagai pandangan yang negatif. Pandangan ini,
untuk mengembangkan kepribadian secara implisit dapat melindungi anak dari
hal-hal negatif yang dapat menghalangi perkembangan kepribadian anak.
Keenam, pendekatan sosiologis(sosiologisme), pendekatan
ini meletakkan hakikat pendidikan kepada keperluan hidup bersama dalam
masyarakat. Titik tolak pandangan ini memprioritaskan kepada kebutuhan
masyarakat dan bukan kepada kebutuhan individu. Pendekatan ini lebih
mengutamakan kegotongroyongan, kebersamaan, dan keseragaman untuk masyarakat
tanpa dominasi dan diskriminasi. Hal ini dalah mengingat peserta didik adalah
sebagai anggota masyarakat.
4. Pendidikan Berbasis
Multikulturalisme
Sejak kemunculan sebagai disiplin ilmu pada abad ke
1960-an dan 1970-an, pendidikan berbasis multikulturalisme atau multicultural
Based Education (MBE) telah didefinisikan dari banyak cara dan dari
berbagai macam perspektif. Dalam terminologi ilmu-ilmu pendidikan dikenal
istilah yang hampir sama dengan MBE yaitu pendidikan multikultural.
MBE membahas tentang penggambaran
realitas budaya, politik, sosial, dan ekonomi yang kompleks, yang secara luas
dan sistematis mempengaruhi segala sesuatu yang terjadi di dalam sekolah dan di
luar ruangan. Ia menyangkut seluruh aset pendidikan yang termanifestasikan
melalui konteks dan proses. MBE menegaskan dan memperluas kembali praktek yang
perlu dicontoh, dan berupaya memperbaiki kesempatan pendidikan optimal yang
tertolak. Ia memperbincangkan sekitar penciptaan lembaga-lembaga pendidikan
yang menyediakan lingkungan pembelajaran yang dinamis, yang mencerminkan
cita-cita persamaan kesetaraan dan keunggulan.
Di indonesia, pendidikan multikultural
relatif baru di kenal sebagai suatu pendekatan yang di anggap lebih sesuai bagi
masyarakat indonesia yang heterogen, terlebih pada masa otonomi dan
disentralisasi yang baru dilakukan. Pendidikan multikulturalisme yang
dikembangkan di Indonesia sejalan pengembangan demokrasi yang dijalankan
sebagai counter terhadap kebijakan desentralisasi dan otonomi daaerah. Apabila
hal itu dilaksanakan tidak hati-hati justru akan menjerumuskan kita ke dalam
perpecahan Nasional.
Model pendidikan di Indonesia maupun di negara-negara
lain menunjukkan keragaman tujuan yang menerapkan strategi dan sarana yang
dipakai untuk mencapai. Sejumlah kritikus melihat bahwa revisi kurikulum
sekolah yang dilakukan dalam program pendidikan multikultural di Inggris dan
beberapa tempat di Australia dan Kanada, terbatas pada keragaman budaya yang
ada, jadi terbatas pada dimensi kognitif. Penambahan informasi tentang keragaman
budaya merupakan model pendidikan multikultural yang mencakup revisi atau
materi pembelajaran, termasuk revisi-revisi buku teks. Terlepas dari kritik
atas penerapannya di beberapa tempat, revisi pembelajaran seperti di Amerika
Serikat merupakan strategi yang dianggap paling penting dalam reformasi
pendidikandan kurikulum.
Untuk mewujudkan model-model tersebut, pendidikan
multikultural di Indonesia perlu memakai kombinasi model yang ada, agar seperti
yang diajukan Gorski, pendidikan multikulturalis dapat mencakup tiga hal jenis
transformasi yakni:
a. Transformasi diri
b. Transformasi
sekolah dan proses belajar mengajar
c. Transformasi
masyarakat
Selain itu pendidikan multikulturalis dimungkinkan akan
terus berkembang seperti bola salju yang menggelinding semakin membesar dan
ramai diperbincangkan. Dan yang lebih penting dan kita harapkan adalah
pendidikan multikultural akan dapat diberlakukan dalam dunia pendidikan di
negeri yang multikultural ini. Apakah nantinya terwujud dalam kurikulum,
materi, dan metode, ataukah dalam wujud lainnya.
5. Implementasi
Multikulturalisme Dalam Dunia Pendidikan
Uraian sebelumnya telah mempertebal keyakinan kita
betapa paradigma pendidikan multikulturalisme sangat bermanfaat untuk membangun
kohesifitas, soliditas dan intimitas di antara keragamannya etnik, ras, agama,
budaya dan kebutuhan di antara kita. Paparan di atas juga memberi dorongan dan
spirit bagi lembaga pendidikan nasional untuk mau menanamkan sikap kepada
peserta didik untuk menghargai orang, budaya, agama, dan keyakinan lain.
Harapannya, dengan implementasi pendidikan yang berwawasan multikultural, akan
membantu siswa mengerti, menerima dan menghargai orang lain yang berbeda suku,
budaya dan nilai kepribadian.
Lewat penanaman
semangat
multikulturalisme di sekolah-sekolah, akan menjadi medium pelatihan dan
penyadaran bagi generasi muda untuk menerima perbedaan budaya, agama, ras,
etnis dan kebutuhan di antara sesama dan mau hidup bersama secara damai. Agar
proses ini berjalan sesuai harapan, maka seyogyanya kita mau menerima jika
pendidikan multikultural disosialisasikan dan didiseminasikan melalui lembaga
pendidikan, serta, jika mungkin, ditetapkan sebagai bagian dari kurikulum
pendidikan di berbagai jenjang baik di lembaga pendidikan pemerintah maupun
swasta. Apalagi, paradigma multikultural secara implisit juga menjadi salah
satu concern dari Pasal 4 UU N0. 20 Tahun 2003 Sistem Pendidikan
Nasional. Dalam pasal itu dijelaskan, bahwa pendidikan diselenggarakan secara
demokratis, tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi HAM, nilai keagamaan,
nilai kultural dan kemajemukan bangsa.
Pada konteks ini dapat dikatakan, tujuan utama dari
pendidikan multikultural adalah untuk menanamkan sikap simpati, respek,
apresiasi, dan empati terhadap penganut agama dan budaya yang berbeda. Lebih
jauh lagi, penganut agama dan budaya yang berbeda dapat belajar untuk melawan
atau setidaknya tidak setuju dengan ketidak-toleranan (l’intorelable)
seperti inkuisisi (pengadilan negara atas sah-tidaknya teologi atau ideologi),
perang agama, dan diskriminasi.
Ide pendidikan multikulturalisme menjadi
komitmen global sebagaimana direkomendasi UNESCO
pada bulan Oktober 1994 di Jenewa. Rekomendasi itu di antaranya memuat empat
pesan:
a.
Pertama, pendidikan hendaknya
mengembangkan kemampuan untuk mengakui dan menerima nilai-nilai yang ada dalam
kebhinnekaan pribadi, jenis kelamin, masyarakat dan budaya serta mengembangkan
kemampuan untuk berkomunikasi, berbagi dan bekerja sama dengan yang lain.
b.
Kedua, pendidikan hendaknya
meneguhkan jati diri dan mendorong konvergensi gagasan dan
penyelesaian-penyelesaian yang memperkokoh perdamaian, persaudaraan dan
solidaritas antara pribadi dan masyarakat.
c.
Ketiga, pendidikan hendaknya meningkatkan kemampuan
menyelesaikan konflik secara damai dan tanpa kekerasan. Karena itu, pendidikan
hendaknya juga meningkatkan pengembangan kedamaian dalam diri diri pikiran
peserta didik sehingga dengan demikian mereka mampu membangun secara lebih
kokoh kualitas toleransi, kesabaran, kemauan untuk berbagi dan memelihara.
Konsep pendidikan multikultural dalam perjalanannya
menyebar luas ke kawasan di luar AS, khususnya di negara-negara yang memiliki
keragaman etnis, ras, agama dan budaya seperti Indonesia. Sekarang ini, pendidikan
multikultural secara umum mencakup ide pluralisme budaya. Tema umum yang
dibahas meliputi pemahaman budaya, penghargaan budaya dari kelompok yang
beragam dan persiapan untuk hidup dalam masyarakat pluralistik.
Secara generik, pendidikan multikultural memang sebuah
konsep yang dibuat dengan tujuan untuk menciptakan persamaan peluang pendidikan
bagi semua siswa yang berbeda-beda ras, etnis, kelas sosial dan kelompok
budaya. Salah satu tujuan penting dari konsep pendidikan multikultural adalah
untuk membantu semua siswa agar memperoleh pengetahuan, sikap dan ketrampilan
yang diperlukan dalam menjalankan peran-peran seefektif mungkin pada masyarakat
demokrasi-pluralistik serta diperlukan untuk berinteraksi, negosiasi, dan
komunikasi dengan warga dari kelompok beragam agar tercipta sebuah tatanan
masyarakat bermoral yang berjalan untuk kebaikan bersama.
Dalam implementasinya, paradigma pendidikan
multikultural dituntut untuk berpegang pada prinsip-prinsip berikut ini:
a. Pendidikan multikultural harus menawarkan
beragam kurikulum yang merepresentasikan pandangan dan perspektif banyak orang.
b. Pendidikan
multikultural harus didasarkan pada asumsi bahwa tidak ada penafsiran tunggal
terhadap kebenaran sejarah.
c. Kurikulum
dicapai sesuai dengan penekanan analisis komparatif dengan sudut pandang
kebudayaan yang berbeda-beda.
d. Pendidikan
multikultural harus mendukung prinsip-prinisip pokok dalam memberantas
pandangan klise tentang ras, budaya dan agama.
Beberapa aspek yang menjadi kunci
dalam melaksanakan pendidikan multikultural dalam struktur sekolah adalah tidak adanya kebijakan yang menghambat toleransi, termasuk tidak adanya
penghinaan terhadap ras, etnis dan jenis kelamin. Juga, harus
menumbuhkan kepekaan terhadap perbedaan budaya, di antaranya mencakup pakaian,
musik dan makanan kesukaan. Selain itu, juga memberikan kebebasan bagi anak
dalam merayakan hari-hari besar umat beragama serta memperkokoh sikap anak agar
merasa butuh terlibat dalam pengambilan keputusan secara demokratis.
6. Tantangan dalam melaksanakan pendidikan multikultural
di Indonesia, yaitu:
a. Agama, suku
bangsa dan tradisi.
Agama secara aktual merupakan ikatan yang terpenting
dalam kehidupan orang Indonesia sebagai suatu bangsa. Bagaimanapun juga hal itu
akan menjadi perusak kekuatan masyarakat yang harmonis ketika hal itu digunakan
sebagai senjata politik atau fasilitas individu-individu atau kelompok ekonomi.
Di dalam kasus ini, agama terkait pada etnis atau tradisi kehidupan dari sebuah
masyarakat.
Masing-masing individu telah
menggunakan prinsip agama untuk menuntun dirinya dalam kehidupan di masyarakat,
tetapi tidak berbagi pengertian dari keyakinan agamanya pada pihak lain. Hal
ini hanya dapat dilakukan melalui pendidikan multikultural untuk mencapai
tujuan dan prinsip seseorang dalam menghargai agama.
b. Kepercayaan
Unsur yang penting dalam kehidupan
bersama adalah kepercayaan. Dalam masyarakat yang plural selalu memikirkan
resiko terhadap berbagai perbedaan. Munculnya resiko dari kecurigaan/ketakutan
atau ketidakpercayaan terhadap yang lain dapat juga timbul ketika tidak ada
komunikasi di dalam masyarakat/plural.
c. Toleransi
Toleransi merupakan bentuk tertinggi, bahwa kita dapat
mencapai keyakinan. Toleransi dapat menjadi kenyataan ketika kita mengasumsikan
adanya perbedaan. Keyakinan adalah sesuatu yang dapat diubah. Sehingga dalam
toleransi, tidak harus selalu mempertahankan keyakinannya.Untuk mencapai tujuan
sebagai manusia Indonesia yang demokratis dan dapat hidup di Indonesia
diperlukan pendidikan multicultural.
Posted : 29 juni 2014
By : Pakdhe Keong
mantap pak de, sudah saatnya budaya kita direvitalisasi nilai-nilainya. mampu memaknai budaya dengan semestinya, tidak memandang peristiwa budaya sebagai sebuah seremony belaka tapi sebagai pengejawantahan akal dan budi nya manusia sebagai makhluk yang berfikir akan membuat knilai-nilai karakter akan membersit dari dalam tubuh siswa bukan dari materi ajar tetapi materi ajar mengkongkritkan secara imiah saja nilai-nilai tersebut
ReplyDelete