Makalah Pengertian Dan Tujuan Tasawuf Serta Pengertian Maqomat Dan Akhwal


Makalah Pengertian Dan Tujuan Tasawuf Serta Pengertian Maqomat Dan Akhwal





 

BAB 1
PENDAHULUAN

Formulasi konsep-konsep dalam dunia tasawuf mulai nampak sejak abad ke-3 dan ke-4 H. Ini diawali dengan semakin banyaknya orang yang mempraktikkan jalan sufi yang di dalamnya mereka mendapat pengalaman keagamaan (religious experience) yang beraneka ragam. Pengalaman keagamaan itu bahkan ada yang dinilai telah keluar dari ortodoksi Islam oleh para ulama–biasanya terdiri dari kalangan ahli fiqih. Dari sinilah kemudian muncul “perdebatan” bahkan “pertentangan” antara sufisme dan syariah yang dalam sejarahnya Islam selain telah menghabiskan energi para ulama untuk mendamaikannya.
Berkaitan dengan pengalaman keagamaan yang diperoleh kaum sufi dan upaya untuk mendamaikan pertentangan antara sufisme dan syariah itulah kemudian dalam literatur sufi muncul konsep-konsep maqamat dan ahwal. Sebab, dalam konteks seperti itu tasawuf tidak bisa tinggal puas dengan kesalehan asketis dan seruan cintanya terus-menerus. Sekali pandangan umumnya telah memperoleh pengikut dan di antara pengikutnya terdapat kalangan ortodoksi yang terpandang, segera ia mengembangkan metodologi “jalan batin” atau jalan spiritual menuju Tuhan. Namun, lebih dari sekedar mendamaikan antara sufirme dan syariah, kemunculan konsep-konsep dan metode dalam tasawuf juga dipicu oleh tuduhan kalangan ulama atas klaim-klaim kaum sufi. Para ulama berpendapat bahwa kalau klaim-klaim kaum sufi seluruhnya diakui, maka akan timbul kekacauan spiritual karena tidak mungkinnya mengatur, mengontrol, bahkan meramalkan jalannya “kehidupan spiritual” itu. Dzunnun al-Misri (w. 245/859), misalnya, yang pada umumnya dianggap telah berjasa oleh kaum sufi atas usahanya mengklasifikasikan tahap-tahap perkembangan spiritual, benar-benar telah dituduh menyelewengkan ajaran agama di Bagdad pada 240 H./854 M. Selain itu–yang lebih penting lagi–kaum sufi sendiri tampaknya memang merasa perlu untuk mengembangkan suatu metode kontrol dan kritik untuk membakukan dan sejauh mungkin mengobjektifkan pengalaman-pengalaman mereka.
Dengan arah dan motivasi seperti itulah kemudian di kalangan kaum sufi dikenal tahapan-tahapan atau “station-station” (maqamat) jalan sufi. Selain itu, dari kandungan maqamat itu juga diperinci lagi sebuah teori tentang “keadaan-keadaan” (ahwal) yang meminjam istilah Rahman–bersifat psiko-gnostik. Pada umumnya isi maqamat itu dinyatakan dalam terminologi yang sepenuhnya dipinjam dari Alquran, seperti tobat, sabar, syukur, dan sebagainya.
v  Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, masalah yang akan dikaji dalam makalah ini adalah :
  1. Apa pengertian dan tujuan tasawuf ?
  2. Bagaimana perkembangan tasawuf ?
  3. Apa pengertian maqomat dan akhwal ?
BAB II
PEMBAHASAN

A.   Pengertian dan Tujuan Tasawuf
Tasawuf Menurut Beberapa Ulama

Ada beberapa ulama yang telah mendefinisikan istilah tasawuf. Di antaranya ialah Abu Muhammad Jariri (w. 923), Kattani (w. 934), Ruwaim (w. 915), Dzun-Nun Mishri (w. 858), dan Junaid (w. 913).

Abu Muhammad al-Jariri berkata, “Tasawuf adalah memasuki akhlak yang baik dan keluar dari akhlak yang buruk”

Kattani berkata, “Tasawuf adalah akhlak. Barangsiapa bertambah baik akhlak, bertambah baik (pula) tasawufnya.”

Ruwaim berkata, “Tasawuf adalah membiarkan diri bersama Allah menurut apa yang dikehendaki Allah.”

Dzun-Nun Mishri berkata, “Sufi (penganut tasawuf ) adalah orang yang tidak berpayah-payah meminta dan tidak terkejut oleh penolakan.” (Maksudnya adalah tidak meminta sesuatu dan tidak kecewa apabila tidak mendapatkan apa yang diharapkan ).

Menurut Abi Qosim. “ Tasawuf adalah kehendakmu yang dipusatkan kepada Alloh tanpa ada perantaraan” sedangkan “Sufi adalah orang yang tidak pernah merasa susah untuk mencari dan tidak pernah payah ketika sirna”

Sedangkan Menurut Syaikh Abu Muhammad. “ Sufi adalah orang yang bersih dari kekeruhan dan apa yang dilakukannya selalu dipikirkan masak masak, dan selalu dipusatkan kepada Alloh. Baginya harta benda dan tanah adalah sama”

Demikian pendapat jumhur ulama’ tentang arti tasawuf. Secara garis besar  tasawuf bisa didefinisikan sebagai pendidikan tentang bagaimana seorang hamba harus berakhlak mulia dan senantiasa menyerahkan urusannya kepada Allah SWT (bertawakal).

 Tujuan Tasawuf
Tasawuf secara sederhana dapat diartikan sebagai usaha untuk menyucikan jiwa sesuci mungkin dalam usaha mendekatkan diri kepada Tuhan sehingga kehadiran-Nya senantiasa dirasakan secara sadar dalam kehidupan. Ibn al-Khaldun pernah menyatakan bahwa tasawuf para sahabat bukanlah pola ketasawufan yang menghendaki kasyf al-hijab (penyingkapan tabir antara Tuhan dengan makhluk) atau hal-hal sejenisnya yang diburu oleh para sufi di masa belakangan. Corak sufisme yang mereka tunjukkan adalah ittiba’ dan iqtida’ (kesetiaan meneladani) perilaku hidup Nabi. Islam sekalipun mengajarkan tentang ketakwaan, qana’ah, keutamaan akhlak dan juga keadilan, tetapi sama sekali tidak pernah mengajarkan hidup kerahiban, pertapaan atau uzlah sebagaimana akrab dalam tradisi mistisisme agama-agama lainnya. Abdul Qadir Mahmud menyatakan bahwa pola hidup sufistik yang diteladankan oleh sirah hidup Nabi dan para sahabatnya masih dalam kerangka zuhud. Kata Ahmad Sirhindi, tujuan tasawuf bukanlah untuk mendapat pengetahuan intuitif, melainkan untuk menjadi hamba Allah. Menurutnya, tidak ada tingkatan yang lebih tinggi dibanding tingkat ‘abdiyyat (kehambaan) dan tidak ada kebenaran yang lebih tinggi di luar syariat. Jadi, orientasi fundamental dalam perilaku sufistik generasi salaf adalah istiqamah menunaikan petunjuk agama dalam bingkai ittiba’, dan bukannya mencari karomah atau kelebihan-kelebihan supranatural.
B.     PERKEMBANGAN TASAWUF
Adapun tasawuf yang berkembang pada masa berikutnya sebagai suatu aliran (mazhab), maka sejauh hal itu tidak bertentangan dengan Islam dapat dikatakan positif (ijabi). Tetapi apabila telah keluar dari prinsip-prinsip keislaman maka tasawuf tersebut menjadi mazhab yang negatif (salbi). Tasawuf ijabi mempunyai dua corak: (1) tasawuf salafi, yakni yang membatasi diri pada dalil-dalil naqli atau atsar dengan menekankan pendekatan interpretasi tekstual; (2) tasawuf sunni, yakni yang sudah memasukkan penalaran-penalaran rasional ke dalam konstruk pemahaman dan pengamalannya. Perbedaan mendasar antara tasawuf salafi dengan tasawuf sunni terletak pada takwil. Salafi menolak adanya takwil, sementara sunni menerima takwil rasional sejauh masih berada dalam kerangka syari’ah.

. Sedangkan tasawuf salbi atau disebut juga tasawuf falsafi adalah tasawuf yang telah terpengaruh secara jauh oleh faham gnostisisme Timur maupun Barat. Terdapat beberapa pendapat tentang pengaruh luar yang membentuk tasawuf Islam, ada yang menyebutkannya dari kebiasaan rahib Kristen yang menjauhi dunia dan kehidupan materiil. Ada pula yang menyebutkannya dari pengaruh ajaran Hindu dan juga filsafat neoplatonisme. Dalam Hindu misalnya terdapat ajaran asketisme dengan meninggalkan kehidupan duniawi guna mendekatkan diri kepada Tuhan dan menggapai penyatuan antara Atman dan Brahman. Pythagoras juga mengajarkan ajakan untuk meninggalkan kehidupan materi dengan memasuki dunia kontemplasi. Demikian juga teori emanasi dari Plotinus yang dikembangkan untuk menjelaskan konsep roh yang memancar dari dzat Tuhan dan kemudian akan kembali kepada-Nya. Pada konteks ini, tujuan mistisisme baik dalam maupun di luar Islam ialah kesadaran akan adanya komunikasi dan dialog langsung antara roh manusia dan Tuhan, kemudian mengasingkan diri dan berkontemplasi.
Lahirnya tasawuf didorong oleh beberapa faktor: (1) reaksi atas kecenderungan hidup hedonis yang mengumbar syahwat, (2) perkembangan teologi yang cenderung mengedepankan rasio dan kering dari aspek moral-spiritual, (3) katalisator yang sejuk dari realitas umat yang secara politis maupun teologis didominasi oleh nalar kekerasan. Karena itu sebagian ulama memilih menarik diri dari pergulatan kepentingan yang mengatasnamakan agama dengan praktek-praktek yang berlumuran darah. Menurut Hamka, kehidupan sufistik sebenarnya lahir bersama dengan lahirnya Islam itu sendiri. Sebab, ia tumbuh dan berkembang dari pribadi Nabi saw. Tasawuf Islam sebagaimana terlihat melalui praktek kehidupan Nabi dan para sahabatnya itu sebenarnya sangatlah dinamis. Hanya saja sebagian ulama belakangan justru membawa praktek kehidupan sufistik ini menjauh dari kehidupan dunia dan masyarakat.
Tasawuf kemudian tak jarang dijadikan sebagai pelarian dari tanggung jawab sosial dengan alasan tidak ingin terlibat dalam fitnah yang terjadi di tengah-tengah umat. Sebagaimana halnya fikih dan kalam, tasawuf memang sering dipandang sebagai fenomena baru yang muncul setelah masa kenabian. Tetapi tasawuf dapat berfungsi memberi wawasan dan kesadaran spiritual atau dimensi ruhaniah dalam pemahaman dan pembahasan ilmu-ilmu keislaman. Seperti diungkap R.A. Nicholson, bahwa tanpa memahami gagasan dan bentuk-bentuk mistisisme yang dikembangkan dalam Islam, maka hal tersebut serupa dengan mereduksi keindahan Islam dan hanya menjadi kerangka formalitasnya saja. Dimensi mistis dalam tiap tradisi keagamaan cenderung mendeskripsikan langkah-langkah menuju Tuhan dengan imaji jalan (the path). Misalnya, di Kristen dikenal 3 (tiga) jalan: the via purgativa, the via contemplativa, dan the via illuminativa. Hal serupa ada pula dalam Islam, dengan mempergunakan istilah shari’a, tariqa, dan haqiqa. Praktik kesufian sebagaimana dipahami secara umum dewasa ini memang menuntut disiplin laku-laku atau amalan-amalan yang merupakan proses bagi para salik menemukan kesucian jiwanya. Salik adalah istilah yang diberikan kepada para pencari Tuhan, yaitu orang-orang yang berusaha mengadakan pendekatan (taqarrub) untuk mengenal Allah dengan sebenar-benarnya.
C.    PENGERTIAN MAQOM DAN AKHWAL
“Maqamat dan Ahwal” adalah dua kata kunci yang menjadi icon untuk dapat mengakses lebih khusus ke dalam inti dari sufisme, yang pertama berupa tahapan-tahapan yang mesti dilalui oleh calon sufi untuk mencapai tujuan tertinggi, berada sedekat-dekatnya dengan Tuhan, dan yang kedua merupakan pengalaman mental sufi ketika menjelajah maqamat. Dua kata ‘maqamat dan ahwal’ dapat diibaratkan sebagai dua sisi mata uang yang selalu berpasangan. Namun urutannya tidak selalu sama antara sufi satu dengan yang lainnya. Maqamat adalah bentuk jamak dari kata maqam, yang secara terminologi berarti tingkatan, posisi, stasiun, lokasi. Secara terminologi Maqamat bermakna kedudukan spiritual atau Maqamat adalah stasiun-stasiun yang harus dilewati oleh para pejalan spiritual (salik) sebelum bisa mencapai ujung perjalanan. Istilah Maqamat sebenarnya dipahami berbeda oeh para sufi. Secara terminologis kata maqam dapat ditelusuri pengertiannya dari pendapat para sufi, yang masing-masing pendapatnya berbeda satu sama lain secara bahasa. Namun, secara substansi memiliki pemahaman yang hampir sama.
Menurut al-Qusyairi (w. 465 H) maqam adalah tahapan adab (etika) seorang hamba dalam rangka wushul (sampai) kepadaNya dengan berbagai upaya, diwujudkan dengan suatu tujuan pencarian dan ukuran tugas. Adapun pengertian maqam dalam pandangan al-Sarraj (w. 378 H) yaitu kedudukan atau tingkatan seorang hamba dihadapan Allah yang diperoleh melalui serangkaian pengabdian (ibadah), kesungguhan melawan hawa nafsu dan penyakit-penyakit hati (mujahadah), latihan-latihan spiritual (riyadhah) dan mengarahkan segenap jiwa raga semata-mata kepada Allah.
Semakna dengan al-Qusyairi, al-Hujwiri (w. 465 H) menyatakan bahwa  maqam  adalah keberadaan seseorang di jalan Allah yang dipenuhi olehnya kewajiban-kewajiban yang berkaitan dengan maqam itu serta menjaganya hingga ia mencapai kesempurnaannya.  Jika diperhatikan beberapa pendapat sufi diatas maka secara terminologis kesemuanya sepakat memahami Maqamat bermakna kedudukan seorang pejalan spiritual di hadapan Allah yang diperoleh melalui kerja keras beribadah, bersungguh-sungguh melawan hawa nafsu dan latihan-latihan spiritual sehingga pada akhirnya ia dapat mencapai kesempurnaan. Bentuk maqamat adalah pengalaman-pengalaman yang dirasakan dan diperoleh seorang sufi melalui usaha-usaha tertentu; jalan panjang berisi tingkatan-tingkatan yang harus ditempuh oleh seorang sufi agar berada sedekat mungkin dengan Allah. Tasawuf memang bertujuan agar manusia (sufi) memperoleh hubungan langsung dengan Allah sehingga ia menyadari benar bahwa dirinya berada sedekat-dekatnya dengan Allah. Namun, seorang sufi tidak dapat begitu saja dekat dengan Allah. Ia harus menempuh jalan panjang yang berisi tingkatan-tingkatan (stages atau stations). Jumlah maqam yang harus dilalui oleh seorang sufi ternyata bersifat relatif. Artinya, antara satu sufi dengan yang lain mempunyai jumlah maqam yang berbeda. Ini merupakan sesuatu yang wajar mengingat maqamat itu terkait erat dengan pengalaman sufi itu sendiri.
Ibn Qayyim al-Jauziyah (w. 750 H) berpendapat bahwa Maqamat terbagi kepada tiga tahapan. Yang pertama adalah kesadaran (yaqzah), kedua adalah tafkir (berpikir) dan yang ketiga adalah musyahadah. Sedangkan menurut al-Sarraj Maqamat terdiri dari tujuh tingkatan yaitu taubat, wara’, zuhd, faqr, shabr, tawakkal dan ridha. Al Ghazali dalam kitab Ihya Ulumudin membuat sistematika maqamat dengan taubat – sabar – faqir – zuhud – tawakal – mahabah – ma’rifat dan ridha. At Thusi menjelaskan maqamat sebagai berikut : Al Taubat – Wara – Zuhud – faqir – sabar – ridha – tawakal – ma’rifat. Al Kalabadhi (w. 990/5) didalam kitabnya “Al taaruf Li Madzhab Ahl Tasawuf” menjelaskan ada sekitar 10 maqamat : Taubat – zuhud – sabar – faqir – dipercaya – tawadhu (rendah hati) – tawakal – ridho – mahabbah (cinta) -dan ma’rifat.
Jika kembali kepada sejarah, sebenarnya konsep tentang Maqamat dan ahwal telah ada pada masa-masa awal Islam. Tokoh pertama yang berbicara tentang konsep ini adalah Ali Ibn Abi Thalib. Ketika ia ditanya tentang iman ia menjawab bahwa iman dibangun atas empat hal: kesabaran, keyakinan, keadilan dan perjuangan. Akan tetapi, macam-macam maqamat yang akan dijadikan acuan dalam bahasan ini lebih mengarah pada konsep al-Sarraj.
  1.  Maqamat
Sebagaimana telah disebutkan diatas tingkatan-tingkatan (Maqamat) yang harus dilalui oleh seorang salik menurut masing-masing ahli sufi terdiri dari beberapa tahapan. Masing-masing ketujuh maqam ini mengarah ke peningkatan secara tertib dari satu maqam ke maqam berikutnya. Dan pada puncaknya akan tercapailah pembebasan hati dari segala ikatan dunia. Adapun  maqamat yang dimaksud diantaranya sebagai  berikut:
  1. Taubat
Dalam beberapa literatur ahli sufi ditemukan bahwa maqam pertama yang harus ditempuh oleh salik adalah taubat dan mayoritas ahli sufi sepakat dengan hal ini. Beberapa diantara mereka memandang bahwa taubat merupakan awal semua maqamat yang kedudukannya laksana pondasi sebuah bangunan. Tanpa pondasi bangunan tidak dapat berdiri dan tanpa taubat seseorang tidak akan dapat menyucikan jiwanya dan tidak akan dapat dekat dengan Allah. Dalam ajaran tasawuf  konsep taubat dikembangkan dan memiliki berbagai macam pengertian. Secara literal taubat berarti “kembali”. Dalam perspektif tasawuf , taubat berarti kembali dari perbuatan-perbuatan yang menyimpang, berjanji untuk tidak mengulanginya lagi dan kembali kepada Allah. Menurut para sufi dosa merupakan pemisah antara seorang hamba dan Allah karena dosa adalah sesuatu yang kotor, sedangkan Allah Maha Suci dan menyukai orang suci. Karena itu, jika seseorang ingin berada sedekat mungkin dengan Allah ia hrus membersihkan diri dari segala macam dosa dengan jalan tobat. Tobat ini merupakan tobat yang sebenarnya, yang tidak melakukan dosa lagi. Bahkan labih jauh lagi kaum sufi memahami tobat dengan lupa pada segala hal kecuali Allah. Tobat tidak dapat dilakukan hanya sekali, tetapi harus berkali-kali Dalam hal ini Dzu al-Nun al-Mishry membagi taubat pada dua bagian yaitu taubatnya orang awam dan orang khawas. Ia mengatakan:
توبة العوام من الذنوب وتوبة الخواص من الغفلة
Lebih lanjut al-Daqqaq membagi taubat dalam tiga tahap. Tahap pertama yaitu taubat kemudian inabah (kembali) dan tahap terakhir yaitu awbah. Menurut al-Sarraj tobat terbagi pada beberapa bagian. Pertama, taubatnya orang-orang yang berkehendak (Muridin), muta’arridhin, thalibin dan qashidin. Kedua, taubatnya ahli haqiqat (kaum khawwas). Pada bagian ini para ahli haqiqat tidak ingat lagi akan dosa-dosa mereka karena keagungan Allah telah memenuhi hati mereka dan mereka senantiasa berzikir kepadaNya. Ketiga, taubat ahli ma’rifat (khusus al-khusus). Adapun taubatnya ahli ma’rifat yaitu berpaling dari segala sesuatu selain Allah.
2.      wara’
Kata wara’ secara etimologi mengarah pada kata الكفِّ والانقباض  yang berarti menghindari atau menjauhkan diri. Dalam perspektif tasawuf wara’ bermakna menahan diri hal-hal yang sia-sia, yang haram dan hal-hal yang meragukan (syubhat). Hal ini sejalan dengan hadits nabi:
حدثنا أحمد بن نصر النيسابوري وغير واحد قالوا حدثنا أبو مسهر عن إسمعيل بن عبد الله بن سماعة عن الأوزاعي عن قرة عن الزهري عن أبي سلمة عن أبي هريرة قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم من حسن إسلام المرء تركه ما لا يعنيه.
“Diantara (tanda) kebaikan ke-Islaman seseorang ialah meninggalkan sesuatu yang tidak penting baginya”.
Adapun makna wara’ secara rinci adalah meninggalkan segala hal yang tidak bermanfaat berupa ucapan, penglihatan, pendengaran, perbuatan, ide atau aktivitas lain yang dilakukan seorang muslim. Seorang salik hendaknya tidak hidup secara sembarangan, ia harus menjaga tingkah lakunya, berhati-hati jika berbicara dan memilih makanan dan minuman yang dikonsumsinya.
3.      Zuhud
Kata zuhud banyak dijelaskan maknanya dalam berbagai literatur ilmu tasawuf. Karena zuhud merupakan salah satu persyaratan yang dimiliki oleh seorang sufi untuk mencapai langkah tertinggi dalam spiritualnya. Diantara makna kata zuhud adalah sebagaimana yang dikemukakan oleh imam al-Gazali “mengurangi keinginan kepada dunia dan menjauh darinya dengan penuh kesadaran”, adapula yang mendefenisikannya dengan makna “berpalingnya hati dari kesenangan dunia dan tidak menginginkannya”[9], “kedudukan mulia yang merupakan dasar bagi keadaan yang diridhai”, serta “martabat tinggi yang merupakan langkah pertama bagi salik yang berkonsentrasi, ridha, dan tawakal kepada Allah SWT”. Menurut Haidar Bagir konsep zuhud diidentikkan dengan asketisme yang dapat melahirkan konsep lain yaitu faqr. Menurut Abu Bakr Muhammad al- Warraq (w. 290/903 M ) kata zuhud mengandung tiga hal yang mesti ditinggalkan yaitu huruf  z berarti zinah (perhiasan atau kehormatan), huruf h berarti hawa (keinginan), dan d menunjuk kepada dunia (materi). Dalam perspektif tasawuf, zuhud diartikan dengan kebencian hati terhadap hal ihwal keduniaan padahal terdapat kesempatan untuk meraihnya hanya karena semata-mata taat  dan mengharapkan ridha Allah SWT.
Menurut Syaikh Syihabuddin ada tiga jenis kezuhudan yaitu : pertama, Kezuhudan orang-orang awam dalam peringkat pertama. Kedua, kezuhudan orang-orang khusus (kezuhudan dalam kezuhudan). Hal ini berarti berubahnya kegembiraan yang merupakan hasil daripada zuhud hanyalah kegembiraan akhirat, sehingga nafsunya benar-benar hanya dipenuhi dengan akhirat. Ketiga, Kezuhudan orang-orang khusus dikalangan kaum khusus. Dalam peringkat ketiga ini adalah kezuhudan bersama Allah.
4.      Sabr
Sabar secara etimologi berarti tabah hati. Dalam Mu’jam Maqayis al-Lughah disebutkan bahwa kata sabar memiliki tiga arti yaitu menahan, sesuatu yang paling tinggi dan jenis bebatuan. Sabar menurut terminologi adalah menahan jiwa dari segala apa tidak disukai baik itu berupa kesenangan dan larangan untuk mendapatkan ridha Allah. Dalam perspektif tasawuf sabar berarti menjaga menjaga adab pada musibah yang menimpanya, selalu tabah dalam menjalankan perintah Allah dan menjauhi segala laranganNya serta tabah menghadapi segala peristiwa. Sabar merupakan kunci sukses orang beriman. Sabar itu seperdua dari iman karena iman terdiri dari dua bagian. Setengahnya adalah sabar dan setengahnya lagi syukur baik itu ketika bahagia maupun dalam keadaan susah. Makna sabar menurut ahli sufi pada dasarnya sama yaitu sikap menahan diri terhadap apa yang menimpanya.
Menurut al-Sarraj sabar terbagi atas tiga macam yaitu: orang yang berjuang untuk sabar, orang yang sabar dan orang yang sangat sabar.
5.      Tawakkal
Tawakkal bermakna ‘berserah diri’. Tawakkal dalam tasawuf dijadikan washilah untuk memalingkan dan menyucikan hati manusia agar tidak terikat dan tidak ingin dan memikirkan keduniaan serta apa saja selain Allah. Pada dasarnya makna atau konsep tawakkal dalam dunia tasawuf  berbeda dengan konsep agama. Tawakkal menurut para sufi bersifat fatalis, menggantungkan segala sesuatu pada takdir dan kehendak Allah. Syekh Abdul Qadir Jailany menyebut dalam kitabnya bahwa semua yang menjadi ketentuan Tuhan sempurna adanya, sungguh tidak berakhlak seorang salik jika ia meminta lebih dari yang telah ditentukan Tuhan.
6.      Ridha
Pada dasarnya beberapa ulama mengemukakan konsep ridha secara berbeda. Seperti halnya ulama Irak dan Khurasan yang berbeda mengenai konsep ini, apakah ia termasuk bagian dari maqam atau hal. Maqam ridha adalah ajaran untuk menanggapi dan mengubah segala bentuk penderitaan, kesengsaraan menjadi kegembiraan dan kenikmatan. Menurut Imam al-Gazali ridha merupakan buah dari mahabbah. Dalam perspektif tasawuf ridha berarti sebuah sikap menerima dengan lapang dada dan senang terhadap apapun keputusan Allah kepada seorang hamba, meskipun hal tersebut menyenangkan atau tidak. Sikap ridha merupakan buah dari kesungguhan seseorang dalam menahan hawa nafsunya.
Imam al-Gazali mengatakan bahwa hakikat ridha adalah tatkala hati senantiasa dalam keadaan sibuk mengingatnya. Berdasarkan pernyataan tersebut dapat dipahami bahwa seluruh aktivitas kehidupan manusia hendaknya selalu berada dalam kerangka mencari keridhaan Allah.
7.       Ahwal
Ahwal adalah bentuk jamak dari ‘hal’ yang biasanya diartikan sebagai keadaan mental (mental states) yang dialami oleh para sufi di sela-sela perjalanan spiritualnya. Ibn Arabi menyebut hal sebagai setiap sifat yang dimiliki seorang salik pada suatu waktu dan tidak pada waktu yang lain, seperti kemabukan dan fana’. Eksistensinya bergantung pada sebuah kondisi. Ia akan sirna manakala kondisi tersebut tidak lagi ada. Hal tidak dapat dilihat dilihat tetapi dapat dipahami dan dirasakan oleh orang yang mengalaminya dan karenanya sulit dilukiskan dengan ungkapan kata.
“ahwal” sering diperoleh secara spontan sebagai hadiah dari Tuhan. Lebih lanjut kaum sufi mengatakan bahwa hal adalah anugerah dan maqam adalah perolehan (kasb). Tidak ada maqam yang tidak dimasuki hal dan tidak ada hal yang terpisah dari maqam.
Beberapa ulama mengatakan bahwa hal adalah sesuatu yang tidak diam  dan tidak mengikat (dinamis). Al-Gazali dalam memberi pandangan yang menyatakan bahwa apabila seseorang telah mantap dan tetap dalam suatu maqam, ia akan memperoleh suatu perasaan tertentu dan itulah hal. Mengenai hal ini ia juga memberi contoh tentang warna kuning yang dapat dibagi menjadi dua bagian, ada warna kuning yang tetap seperti warna kuning pada emas dan warna kuning yang dapat berubah seperti pada sakit kuning. Seperti itulah kondisi atau hal seseorang. Kondisi atau sifat yang tetap dinamakan maqam sedangkan yang sifatnya berubah dinamakan hal. Menurut Syihabuddin Suhrawardi seseorang tidak mungkin naik ke maqam yang lebih tinggi sebelum memperbaiki maqam sebelumnya. Namun, sebelum beranjak naik, dari maqam yang lebih tinggi turunlah hal yang dengan itu maqamnya menjadi kenyataan. Oleh karena itu, kenaikan seorang salik dari satu maqam ke maqam berikutnya disebabkan oleh kekuasaan Allah dan anugerahNya, bukan disebabkan oleh usahanya sendiri. pernyataan diatas memberikan pemahaman bahwa maqam bersifat lebih permanent keberadaannya pada diri sang salik daripada hal. Selain itu, maqamat lebih merupakan hasil upaya aktif para salik, sedangkan ahwal merupakan anugerah atau uluran Allah yang sifatnya pasif.
Sebagaimana halnya dengan maqam, hal juga terdiri dari beberapa macam. Namun, konsep pembagian atau formulasi serta jumlah hal berbeda-beda dikalangan ahli sufi. Diantara macam-macam hal yaitu; muraqabah, khauf, raja’, syauq, Mahabbah, tuma’ninah, musyahadah, yaqin.
  • Muraqabah
Secara etimologi muraqabah berarti menjaga atau mengamati tujuan. Adapun secara terminologi muraqabah adalah salah satu sikap mental yang mengandung pengertian adanya kesadaran diri bahwa ia selalu berhadapan dengan Allah dan merasa diri diawasi oleh penciptanya. Pengertian tersebut sejalan dengan pendangan al-Qusyairi bahwa muraqabah adalah keadaan mawas diri kepada Allah dan mawas diri juga berarti adanya kesadaran sang hamba bahwa Allah senantiasa melihat dirinya.
  • Khauf
Menurut al-Qusyairi, takut kepada Allah berarti takut terhadap hukumnya. Al-khauf adalah suatu sikap mental merasa takut kepada Allah karena kurang sempurna pengabdiannya atau rasa takut dan khawatir jangan sampai Allah merasa tidak senang kepadanya. Ibn Qayyim memandang khauf sebagai perasaan bersalah dalam setiap tarikan nafas. Perasaan  bersalah dan adanya ketakutan dalam hati inilah yang menyebabkan orang lari menuju Allah.
  • Raja’
Raja’ bermakna harapan. Al-Gazali memandang raja’ sebagai senangnya hati karena menunggu sang kekasih datang kepadanya. Sedangkan menurut al-Qusyairi raja’ adalah keterpautan hati kepada sesuatu yang diinginkannya terjadi di masa akan datang. Sementara itu, Abu Bakar al-Warraq menerangkan bahwa raja’ adalah kesenangan dari Allah bagi hati orang-orang yang takut, jika tidak karena itu akan binasalah diri mereka dan hilanglah akal mereka. Dari beberapa pendapat yang dikemukakan ahli sufi diatas dapat dipahami bahwa raja’ adalah sikap optimis dalam memperoleh karunia dan nikmat Allah SWT yang disediakan bagi hambaNya yang saleh dan dalam dirinya timbul rasa optimis yang besar untuk melakukan berbagai amal terpuji dan menjauhi perbuatan yang buruk dan keji.
  • Syauq
Syauq bermakna lepasnya jiwa dan bergeloranya cinta. Para ahli sufi menyatakan bahwa syauq merupakan bagian dari mahabbah. Sehingga pengertian syauq dalam tasawuf  adalah suasana kejiwaan yang menyertai mahabbah. Rasa rindu ini memancar dari kalbu karena gelora cinta yang murni. Untuk menimbulkan rasa rindu kepada Allah maka seorang salik terlebih dahulu harus memiliki pengetahuan dan pengenalan terhadap Allah. Jika pengetahuan dan pengenalan  terhadap Allah telah mendalam, maka hal tersebut akan menimbulkan rasa senang dan gairah. Rasa senang akan menimbulkan cinta dan akan tumbuh rasa rindu, rasa rindu untuk selalu bertemu dan bersama Allah.
  • Mahabbah
Cinta (mahabbah) adalah pijakan atau dasar bagi kemuliaan hal. Seperti halnya taubat yang menjadi dasar bagi kemuliaan maqam. Al-Junaid menyebut mahabbah sebagai suatu kecenderungan hati. Artinya, hati seseorang cenderung kepada Allah dan kepada segala sesuatu yang datang dariNya tanpa usaha.
·         Tuma’ninah
Secara bahasa tuma’ninah berarti tenang dan tentram. Tidak ada rasa was-was atau khawatir, tak ada yang dapat mengganggu perasaan dan pikiran karena ia telah mencapai tingkat kebersihan jiwa yang paling tinggi. Menurut al-Sarraj tuma’ninah sang hamba berarti kuat akalnya, kuat imannya, dalam ilmunya dan bersih ingatannya. Seseorang yang telah mendapatkan hal ini sudah dapat berkomunikasi langsung dengan Allah SWT.
  • Musyahadah
Dalam perspektif tasawuf  musyahadah berarti melihat Tuhan dengan mata hati, tanpa keraguan sedikitpun, bagaikan melihat dengan mata kepala. Hal ini berarti dalam dunia tasawuf seorang sufi dalam keadaan tertentu akan dapat melihat Tuhan dengan mata hatinya. Musyahadah dapat dikatakan merupakan tujuan akhir dari tasawuf, yakni menemukan puncak pengalaman rohani kedekatan hamba dengan Allah. Dalam pandangan al-Makki,  musyahadah juga berarti bertambahnya keyakinan yang kemudian bersinar terang karena mampu menyingkap yang hadir (di dalam hati). Seorang sufi yang telah berada dalam hal musyahadah merasa seolah-olah tidak ada lagi tabir yang mengantarainya dengan Tuhannya sehingga tersingkaplah segala rahasia yang ada pada Allah.
  • Yaqin
Al-yaqin berarti perpaduan antara pengetahuan yang luas serta mendalam dan rasa cinta serta rindu yang mendalam pula sehingga tertanamlah dalam jiwanya perjumpaan secara langsung dengan Tuhannya. Dalam pandangan al-Junaid yaqin adalah tetapnya ilmu di dalam hati, ia tidak berbalik, tidak berpindah dan tidak berubah. Menurut al-Sarraj yaqin adalah fondasi dan sekaligus bagian akhir dari seluruh ahwal. Dapat juga dikatakan bahwa yaqin merupakan esensi seluruh ahwal .





BAB III
PENUTUP

Tasawuf merupakan tragedi perwujudan sebuah perkembangan empiris islam dalam hal keluhuran ajaran. Peranan tasawuf memberikan arti tersendiri bahwa Agama islam yang notabene sebagai agama yang rohmatallil ‘alamin tak pernah ketinggalan kekahazanan ajaran yang maha luhur. Terutama tentang bagaimana memahami hakikat. Tawakkal, khouf, sbar. berserah diri pada Alloh dengan totalitas tanpa pertimbangan apapun.
Meskipun dalam pemaknaa taswauf sendiri banyak mengalami semacam heterogensi pemikiran, namun keuntungan itu jutsru tanpak, karena dengan berbagai macam paradigma pemikiran itulah, pengejewatahan serta definisi akan Tasawuf akan lebih sempurna. Lebih dari itu, semakin bertambahnya wawasan ummat yang kiat membludak, pergeseran pemahaman itupun kian mengalir bersama dengan arus pergolakan tasawuf barat (filsafat) yang kadang justru mendatangkan sebuah kontroversi.
Ini merupakan sebuah tantangan terbesar sendiri bagi umat islam dewasa ini, bahwasanya ajaran islam tak lepas pada sebatas syari’t, namun juga pada inti ajarannya yakni Hakikat. Bagaimana menjadi seorang hamba yang benar benar tulus menghamba tanpa ada ikatan rasa keserakahan akan janji janji Tuhan itu sendiri.





 Posted By: Pakdhe Keong
                   21 September 2014




0 komentar: