Google Licik dan Jahat
Parlemen Inggris: Google Licik dan Jahat
LONDON, KOMPAS.com — Sebuah komisi di Parlemen Inggris menuduh perusahaan internet raksasa Google melakukan penyelewengan pajak korporasi dengan cara membukukan transaksi penjualan di Irlandia yang pada hakikatnya terjadi di Inggris Raya.
Dalam dengar pendapat dengan Google hari Kamis (16/5/2013), Ketua Komisi Akuntabilitas Parlemen Inggris, Margaret Hodge, menuduh perusahaan tersebut berbuat "licik" dan "jahat" dalam menjalankan bisnisnya. Tuduhan ini dibantah oleh Wakil Presiden Google untuk Eropa Utara Matt Brittin yang mengatakan bahwa semua kontrak penjualan Google untuk Inggris dilakukan di Irlandia sehingga tidak bisa dikenakan pajak di Inggris.
Google merupakan salah satu dari sejumlah perusahaan multinasional seperti Starbucks dan Amazon yang dituduh komisi tersebut melakukan rekayasa perpajakan yang canggih agar menghindar dari pembayaran pajak yang wajar. Perdana Menteri Inggris David Cameron menganggap Google dan perusahaan sejenisnya bertindak secara amoral. Sementara pemimpin oposisi Ed Milliband memandangnya sebagai perbuatan yang tidak bisa diterima.
Omzet besar
Pada tahun 2011, omzet penjualan iklan Google di Inggris Raya bernilai 3,2 miliar poundsterling (sekitar Rp 47,7 triliun), tetapi perusahaan itu hanya membayar pajak korporasi sebesar enam juta poundsterling (sekitar Rp 89,5 miliar), jumlah yang amat rendah bila dibandingkan dengan tingkat pajak korporasi sebesar 28 persen.
Berdasarkan laporan sejumlah whistleblowers, Hodge dan anggota-anggota komisi lainnya menuduh bahwa Google mempunyai ratusan staf di Inggris yang menjalankan fungsi sales walaupun Google selama ini mengatakan pegawainya di Inggris hanya melakukan promosi dan marketing. Setelah dicecar berbagai pertanyaan, Brittin mengakui bahwa Google mempunyai karyawan sales di Inggris, tetapi tetap berpegang pada keterangannya bahwa kontrak jual beli disahkan di Irlandia.
Starbucks dan Amazon
Google hanya salah satu dari sejumlah perusahaan multinasional yang mempunyai bisnis besar di Inggris Raya, tetapi membayar pajak korporasi rendah karena badan hukumnya berada di negara lain. Bulan November lalu, komite parlemen yang sama juga menuduh Starbucks dan Amazon mengeruk keuntungan besar di Inggris, tetapi hanya membayar pajak korporasi yang rendah.
Amazon pada tahun 2012 mencatat penjualan 4,3 miliar poundsterling, tetapi hanya membayar pajak korporasi 2,4 juta poundsterling.
Sedangkan Starbucks selama tiga tahun sampai 2012 sama sekali tidak membayar pajak korporasi di Inggris dan selama 14 tahun beroperasi di Inggris hanya membayar 8,6 juta poundsterling. Padahal, pada tahun 2011 saja, omzet penjualan Starbucks di Inggris mencapai 400 juta poundsterling. Terbukanya fakta ini membuat Starbucks mendapat ancaman boikot dari konsumen sehingga perusahaan itu kemudian berjanji akan membayar pajak korporasi secara sukarela pada tahun-tahun mendatang.
Walaupun Google dan perusahaan-perusahaan sejenisnya mendapat tekanan politik berat agar membayar pajak korporasi yang lebih besar, badan perpajakan nasional Inggris (Her Majesty's Revenue and Customs/HMRC) berpendapat bahwa mereka tidak melanggar hukum. Direktur Jenderal Pajak Usaha HMRC Jim Harra berpendapat bahwa aturan pajak korporasi yang berlaku secara internasional perlu diperbarui menghadapi bisnis di era digital. Dia mengatakan kepada BBC bahwa berdasarkan aturan sekarang, perusahaan-perusahaan multinasional seperti Google dan Amazon bisa memilih negara dengan tingkat pajak korporasi rendah untuk melakukan kontrak penjualan agar mendapat keuntungan maksimal.
Sumber :
BBC
Editor :
Rusdi Amral
Sumber: http://internasional.kompas.com
0 komentar: