Perencanaan Desain Pembelajaran
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kehidupan seseorang pada umumnya penuh dorongan dan minat untuk mencapai atau memiliki sesuatu. Perilaku seseorang dan munculnya berbagai kebutuhan disebabkan oleh berbagai dorongan dan minat. Dorongan-dorongan dan minat seseorang itu terpenuhi merupakan dasar dari pengalaman emosionalnya.
Seorang individu dalam merespon sesuatu lebih banyak diarahkan oleh penalaran dan pertimbangan-pertimbangan objektif. Akan tetapi pada saat-saat tertentu di dalam kehidupannya, dorongan emosional banyak campur tangan dan mempengaruhi pemikiran-pemikiran dan tingkah lakunya. Oleh karena itu untuk memahami anak / remaja, perlu mengetahui apa yang ia lakukan dan pikirkan. Disamping itu hal yang lebih penting untuk diketahui adalah apa yang mereka rasakan. Jadi makin banyak kita memahami dunia anak/remaja , makin perlu kita melihat ke dalam kehidupan emosionalnya dan memahami perasaan-perasaannya, baik perasaan tentang dirinya sendiri maupun tentang orang lain. Gejala-gejala emosional seperti marah, takut, bangga dan rasa malu, cinta dan benci, harapan-harapan dan rasa putus asa, perlu dicermati dan difahami dengan baik agar proses pembelajaran pendidikan pada anak / remaja dapat berjalan sesuai dengan yang diharapkan.
Kehidupan seseorang pada umumnya penuh dorongan dan minat untuk mencapai atau memiliki sesuatu. Perilaku seseorang dan munculnya berbagai kebutuhan disebabkan oleh berbagai dorongan dan minat. Dorongan-dorongan dan minat seseorang itu terpenuhi merupakan dasar dari pengalaman emosionalnya.
Seorang individu dalam merespon sesuatu lebih banyak diarahkan oleh penalaran dan pertimbangan-pertimbangan objektif. Akan tetapi pada saat-saat tertentu di dalam kehidupannya, dorongan emosional banyak campur tangan dan mempengaruhi pemikiran-pemikiran dan tingkah lakunya. Oleh karena itu untuk memahami anak / remaja, perlu mengetahui apa yang ia lakukan dan pikirkan. Disamping itu hal yang lebih penting untuk diketahui adalah apa yang mereka rasakan. Jadi makin banyak kita memahami dunia anak/remaja , makin perlu kita melihat ke dalam kehidupan emosionalnya dan memahami perasaan-perasaannya, baik perasaan tentang dirinya sendiri maupun tentang orang lain. Gejala-gejala emosional seperti marah, takut, bangga dan rasa malu, cinta dan benci, harapan-harapan dan rasa putus asa, perlu dicermati dan difahami dengan baik agar proses pembelajaran pendidikan pada anak / remaja dapat berjalan sesuai dengan yang diharapkan.
B.
Tujuan :
1. Sebagai salah satu tugas mata kuliah Perencanaan Desain Pembelajaran
2. Dapat bermanfaat bagi para pembaca pada umumnya.
PEMBAHASAN
A.
Konsep Dasar Emosional.
Kecerdassan emosional pertama kali dilontarkan
pada tahun 1990 oleh psikolog Peter Salovey dan John Mayer untuk mnerangkan
kualitas-kualitas emosional yang nampak penting bagi keberhasilan, antara lain
adalah empati, mengungkapkan dan memahami perasaan, mengendalikan amarah,
kemandirian, kemampuan menyesuaikan diri, diskusi, kemampuan memecahkan masalah
antar pribadi, ketekunan, kesetiakawanan, keramahan dan sikap hormat.
Emotional Quotient (EQ) merupakan
factor penting dalam perkambangan intelektual anak, hal ini sejalan dengan
pandangan Semiawan bahwa stimulasi intelektual sangat dipengaruhi oleh
keterlibatan emosional, bahkan emosi juga amat menentukan perkembangan
intelektual secara bertahap[1]
artinya secara tibal balik factor kognitif juga terlibat dalam perkembangan
emosional.pertanyaannya adalah apakah EQ itu? Dari berbagai literature yang
dikaji para ahli memberikan pengertian yang sama. Kaphin dan Sadock (1992)[2]
misalnya seorang psikiater, mengemukakan bahwa emosi sebagai keadaan perasaan
yang kompleks yang mengandung komponen kejiwaan, badan dan perilaku, yang berkaitan
dengan afek (affect) dan suasana perasaan/ suasana hati (mood),
sementara Goleman (1995), seorang psikolog, mendefinisikan emosi adalah
perasaan dan pikiran khas; suatu keadaan biologis dan psikologis; suatu rentang
kecenderungan-kecenderungan untuk bertindak.[3]
Silverman (1986), seorang psikolog, menyatakan bahwa emosi adalh perilaku yang
terutama dipengaruhi oleh tanggapan mendalam yang terkondisikan.[4]
Dari beberapa pendapat dapat dikatakan
bahwa kecerdasan emosional menuntut diri untuk belajar mengakui dan
menghargai perasaan diri sendiri dan orang lain dan untuk menanggapinya dengan
tepat, menerapkan dengan efektif energi emosi dalam kehidupan dan pekerjaan
sehari-hari. 3 (tiga) unsur penting kecerdasan emosional terdiri dari :
kecakapan pribadi (mengelola diri sendiri); kecakapan sosial (menangani suatu
hubungan) dan keterampilan sosial (kepandaian menggugah tanggapan yang
dikehendaki pada orang lain).
B.
EQ versus IQ
1. IQ (Intellegence Quotient)
Para ilmuwan mengungkapkan bahwa IQ dapat diukur dengan menggunakan
uji-uji kecerdasan standar, misalnya Wechsler intelligence scales,yang
mengukur baik kemampuan verbal maupun nonverbal, termasuk ingatan
perbendaharaan kata, wawasan pemecahan masalah, abstraksi logika, persepsi,
pengolahan informasi, dan keterampilan motorik visual. IQ atau juga bisa disebut
kecerdasan intelektual, inilah kecerdasan yang paling banyak di dengar oleh
kita. IQ adalah kecerdasan yang dimiliki oleh otak manusia yang bisa melakukan
beberapa kemampuan, seperti kemampuan menalar, merencanakan, memecahkan
masalah, berpikir abstrak, memahami gagasan, menggunakan bahasa, dan belajar.
2. EQ (Emosional Quotient)
Kecerdasan
EQ atau Emosional Quotient. Daniel Golemen, dalam bukunya Emotional
Intelligence (1994) menyatakan bahwa “kontribusi IQ bagi keberhasilan seseorang
hanya sekitar 20 % dan sisanya yang 80 % ditentukan oleh serumpun faktor-faktor
yang disebut Kecerdasan Emosional. Dari nama teknik itu ada yang berpendapat
bahwa kalau IQ mengangkat fungsi pikiran, EQ mengangkat fungsi perasaan. Orang
yang ber-EQ tinggi akan berupaya menciptakan keseimbangan dalam dirinya; bisa
mengusahakan kebahagian dari dalam dirinya sendiri dan bisa mengubah sesuatu
yang buruk menjadi sesuatu yang positif dan bermanfaat.
Goleman (1996) menemukan bahwa akal (mind) manusia pada hakikatnya
dapat dibagi menjadi dua jenis kehidupan mental, yaitu yang terutama ditandai
oleh aspek rasio, yang bersumber dari kepala (head) dan diukur oleh IQ, dan
emosi yang bersumber dari hati sanubari (heart) seseorang yang diukur dengan
EQ.Keterampilan EQ bukanlah lawan
keterampilan IQ atau keterampilan kognitif, namun keduanya beriteraksi secara
dinamis, baik pada tingkatan konseptual maupun di dunia nyata.
C.
Anatomi Saraf Emosi
Siapa atau apa yang bertanggung jawab atas
emosi kita? Jawabannya adalah sistem limbik , sistem
struktur saraf di otak yang terlibat dalam pengendalian perilaku
emosional. Salah satu bagian dari sistem limbik adalah amygdale ,
sekelompok badan sel saraf di otak. Calledthe pusat emosional otak, hippocampus
berperan dalam ingatan dan penafsiran persepsi, amygdale yang bertugas
peran kenangan pengolahan dan pengendalian emosi.
Ada dua jenis otak: otak
rasional dan otak emosional . Kedua jenis otak
bekerja sama, pengolahan informasi yang sama. Otak emosional beroperasi
lebih cepat, dalam pikiran bawah sadar, menghasilkan emosi, yang kita alami
dalam pikiran sadar. Karena otak emosional bereaksi lebih cepat daripada
otak rasional, kita dapat menemukan diri kita bertindak sebelum mendahului
pikiran-kita bertindak emosional!
Mengapa
kita bertindak emosional?, ketika kita bertindak emosional, persepsi kita pergi
langsung ke amygdale-emosional-tengah bukan pertama pergi ke neokorteks, yang
merupakan bagian otak di mana kita berpikir dan proses pikiran. Pada
dasarnya, kita merasa dan bertindak sebelum kita berpikir.
D.
Menjadi Orang Tua ber-EQ Tinggi.
Para
peneliti menemukan ada tiga gaya umum bagaimana orang tua menjalankan peranannya
sebagai orang tua, yaitu otoriter, permisif, dan otoritatif. Dalam bukunya Raising
a Responsible Child, Elizabeth Ellis menulis banyak penelitian menyatakan
bahwa anak-anak yang berasal dari
keluarga yang menerapkan keotoriteran dan pengawasan ketat cenderung
tidak bahagia, penyendiri dan sulit untuk mempercayai orang lain. Sebaliknya, orang tua permisif,
berusaha menerima dan mendidik sebaik mungkin, tetapi cenderung sangat pasif
ketika sampai ke masalah penetapan batas-batas atau menanggapi ketidakpatuhan.
Orang
tua otoritatif, berbeda dengan bak orang tua otoriter maupun orang tua permisif,
berusaha menyeimbangkan antara
batas-batas lingkungan rumah yang baik untuk tumbuh. Orang tua yang otoritatif
menghargai kemandirian anaknya, tetapi menuntut mereka memenuhi standar
tanggung jawab yang tinggi. Orang tua yang otoritatif dianggap mempunyai gaya
yang lebih mungkin menghasilkan anak yang percaya diri, imajinatif, mandiri,
mudah beradaptasi, dan disukai banyak orang yakni anak dengan kecerdasan
emosional yang tinggi.
E.
Emosi dari Segi Moral
William Dammon, seorang professor Amerika
dalam perkembangan moral anak-anak dan
remaja menyatakan anak-anak harus mendapatkan keterampilan emosional sebagai
berikut:
1. Mereka
harus mengikuti dan memahami perbedaan antara perilaku yang baik dan buruk
serta mengembangkan kebiasaan dalam hal perbuatan yang konsisten dengan sesuatu
yang dianggap baik;
2. Mereka
harus mengembangkan kepedulian, perhatian dan rasa tanggung jawab atas
kesejahteraan dan hak-hak orang lain, yang diungkapkan melalui sikap peduli,
dermawan, ramah dan pemaaf;
3. Mereka
harus merasakan reaksi emosi negative seperti malu, bersalah, marah, takut dan
rendah diri bila melanggar aturan moral.
Menurut William Damon, perkembangan moral anak
tidak dapat dipisahkan dengan emosi seseorang. Ada dua kelompok emosi, yakni
(a) emosi negative dan (b) emosi positif. Emosi negative sifatnya dapat
memotivasi anak-anak untuk belajar dan mempraktikkan perilaku prososial,
termaduk (1)takut dihukum (2) kekhawatiran tidak diterima oleh orang lain, (3)
rasa bersalah bila gagal memenuhi harapan seseorang, (4) malu bila ketahuan
berbuat sesuatu yang tidak dapat diterima oleh orang lain. Sementara emosi
positif akan membentuk moral anak adalah empati dan apa yang disebut naluri
pengasuhan, yang meliputi kemampuan untuk menyayang.
F.
Empati dan Kepedulian kepada Anak
Para
psikolog perkembangan menegaskan bahwa ada dua komponen empati, : 1. Reaksi
emosi kepada orang lain yang normalnya berkembang dalam enam tahun pertama
kehiidupan anak-anak, dan 2. Reaksi kognitif yang menentukan sampai sejauh mana
anak-anak ketika sudah lebih besar mampu memandang sesuatu dari sudut pandang
atau perspektif orang lain.
Kajujuran
adalah factor penting yang harus diperhatikan dalam mendidik anak.dalam
mengajarkan kejujuran kepada anak dapat dilakukan dengan jalan:
1. Ajarkan nilai kejujuran kepada anak sejak
mereka masih muda dan konsisten dengan pesan anda waktu usia mereka bertambah.
Pemahaman anak mengenai kejujuran bias
berubah, tetapi pemahaman anda jangan berubah.
2. Anda dapat menjadikan kejujuran dan etika
sebagai bahan perbincangan sejak anak masuk sangat mudah dengan memilihkan
buku-buku dan video untuk dinikmati bersama anak, memainkan permainan
kepercayaan, dan memahami berubahnya kebutuhan anak atas privasi
G.
Mengembangkan Empati dan Kepedulian
Bayi dibawah usia satu tahun sudah mamiliki
empati emosi. Bayi akan ikut menangis jika melihat bayi lain menangis, ini
karena ia belum mampu membedakan diri sendiri dengan dunianya, ia menafsirkan
rasa tetekan bayi lain sebagai rasa tertekannya sendiri.
Usia satu- dua tahunadalah tahapan empati kedua,
dimana mereka dapat melihat bahwa kesusahan orang lain bukan kesusahan mereka
sendiri
Usia enam tahun dimulai tahapan empati kognitif,
kemampuan memandang sesuatu dari sudut pandng orang lain dan berbuat sesuai
dengan itu.
Lawrence
E.shapiro, menawarkan kegiatan yang mengandung empati, yakni: 1. Bekerja di
dapur umuM dalam suatu kegiatan social 2. Ikut kerja bakti di lingkungan rumah
3. Membantu mengajari anak-anak yang lebih kecil 4. Membuat boneka bagi anak
yang sakit 5. Begabung dengan organisasi penyelamat spesies terancam punah 6.
Menghibur orang jomp di panti werda.
H.
Keterampilan EQ yang Harus Diingat
Menurut beberapa penulis buku diantaranya Mary,
Ann, Mason, dan Paul Ekman mengatakan bahwa sebagai orang tua harus mengajari
anak menghormati privasi mereka; mereka juga harus menghormati privasi anak,
termasuk yang sudah remaja. Hal yang perlu diingat dalam EQ dalam hal ini
adalah:
1.
Ajarkan nilai kejujuran kepada anak sejak mereka masih muda dan konsisten
dengan pesan anda waktu usia mereka bertambah. Pemahaman anak mengenai
kejujuran bias berubah, tetapi pemahaman
anda jangan berubah.
2. Anda dapat menjadikan kejujuran dan etika
sebagai bahan perbincangan sejak anak masuk sangat mudah dengan memilihkan
buku-buku dan video untuk dinikmati bersama anak, memainkan permainan
kepercayaan, dan memahami berubahnya kebutuhan anak atas privasi.
I.
Emosi Moral Negatif: Rasa Malu dan Rasa Bersalah
Malu didefinisikan sebagai salah satu bentuk rasa
rendah diri, eksterm yang terjadi ketika anak-anak merasa gagal memenuhi
harapan orang lain dalam bertindak. Emosi negative rasa malu dan rasa bersalah
dapat dimanfaatkan secara konstruktif
untuk membentuk perilaku moral anak.
Hal-hal yang perlu diperhatikan dari aspek EQ
dalam hal ini adalah 1. Rasa malu dan rasa bersalah bukan aspek emosi yang
harus dijauhi. Apabila digunakan dengan tepat, emosi-emosi ini penting bagi
orang tua untuk mengajarkan nilai-nilai moral pada ank; 2. Penggunaan rasa malu dan rasa bersalah
secara tepat akan bergantung pada temperamen anak anda, tetapi penggunaan emosi
ini dapat mengintregasikan kembali anak anda dalm dukungan keluarga.
J.
Aplikasi Pertimbangan Faktor Emosional Anak dalam
Perencanaan Pembelajaran
Emotional
Quotient (EQ) merupakan factor penting dalam perkembangan
intelektual anak, hal ini sajalan dengan pandangan Semiawan bahwa stimulasi
intelektual sangan dipengaruhi oleh keterlibatan emosional, bahkan emosi juga
amat menentukan perkembangan intelektual anak secara bertahap[5]
artinya secara timbal balik factor kognitif juga terlibat dalam perkembangan
emosional. Dengan demikian, antara IQ dengan EQ tidak dapat dipisahkna perannya
satu sama lain.
Perkembangan
emosional pada anak, juga akan berjalan dengan perkembangan moral. Hal ini
mendorong orang tua atau guru untuk berupaya mengajarkan moral yang baik pada anak melalui pemberian contoh atau
teladan yang baik.
Perkembangan
moral menurut Durkheim (dalam Djuretna, 1994) berkembang karena kondisi social.
[6]oleh
karena itu moral masyarakat berkuasa
terhadap individu.menurut Driyarkara (1996), kesadaran moral adalah kesadaran
tentang diri sendiri, dimana kita melihat diri sendiri sedang berhadapan dengan
sesuatu yang baik dan yang buruk. Orang yang memiliki kesadaran moral, berarti
dia mempunyai kemampuan untuk memilih atau mempertimbangkan dan membedakan
antara sesuatu yang baik dan sesuatu yang buruk, atau bisa juga antara yang
haram dengan yang halal.
Disamping
perkembangan moral, mengajarkan emosional anak juga dipengaruhi oleh
perkembangan sosialnya. Perkembangan
social menurut Hurlock (1978) bahwa keberadaan anak dalam kehidupan social
dibagi dua: 1. Anak yang introvert yaitu analk yang memikirkan dirinya
sendiri. 2. Anak yang ekstrovert yang selalu mengarahkan perhatiannya di
luar dirinya. Sifat pertama yaitu sifat individual untuk memenuhi kebutuhannya
jika tidak dapat terpenuhi dengan cara yang baik ia akan melakuakn berbagai
cara tanpa memikirkan aspek hokum dan tanpa memikirkan orang lain. Dengan
demikian introvert berpotensi melakukan hal-hal yang meresahkan
masyarakat berupa kenakaln remaja bagi anak muda pencurian, pemerkosaan,
perampokan dll.
Perbuatan
anak yang tidak baik, dapat timbul karena kondisi dan proses social yang sama,
yang menghasilkan perlaku social yang lainnya.[7]tinggi
rendahnya angka kejahatan mempunyai hubungan erat dengan bentuk dari organisasi
social, yang terdiri atas proses beberapa aspek kehidupan manusia di dalam
masyarakat,yaitu ; a. mobolitas social b. persaingan dan pertentangan
kebudayaan c. ideology politik d. ekonomi e. kuantitas penduduk f. agama g.
pendapatan dan pekerjaan.
Kegiatan
terpuji ataupun kejahatan didorong ole factor eksternal yang telah tersebut
diatas dan fakor internal yaitu factor yang berasal dari diri sendiri. Factor
internal dibagi menjadi factor yang bersifat umum dan khusus. Dan disini akan
diuraikan factor yang bersifat khusus saja, yaitu:
a.
Sakit jiwa
Orang
yang terkena sakit jiwa mempunyai kecenderungan untuk bersikap antisocial.
b.
Perkembangan emosional
Masalah
emosional erat hubungannya dengan masalah social yang dapat mendorong seseorang
untuk berbuat menyimp[ang. Hal ini terjadi karena diakui bahwa seseorang dalam
perkembangan kepribadiannya tidak dapt dilepaskan dengan perkembangan
emosional.
c.
Perkembangan mental
Penyebab
kejahatan moral dapat terjadi karena rendahnya mental. Rendhnya mental ini ada hubungannya
dengan daya intelegensia. Jika seseorang mempunyai daya intelegensia yang tajam
dan dapat menilai realitas, ia semakin mudah untuk menyesuaikan diri dengan
masyarakat.
d.
Anomi
Masa
anomi akan terjadi jika seseorang telah meninggalkan kebiasaan lama, sementara
hal-hal baru belum dikuasai atau belum didapatnya, sehingga orang kehilangan
pegangan, danpada saat inilah ia akan merasakan suatu krisis, rawan dan mudah
terpengaruh. Oleh karena itu, anomi dapat dianggap sebagai salah satu penyebab
tmbul kejahtan pada anak. Berdasarkan hal ini seyogyanya mendidik anak dalam
emosi perlu diperhatikan aspek anomi ini.
Dalam kaitannya dengan emosi anak /
remaja awal yang cenderung banyak melamun dan sulit diterka, maka satu-satunya
hal yang dapat dilakukan oleh guru adalah konsisten dalam pengelolaan kelas dan
memperlakukan siswa seperti orang dewasa yang penuh tanggungjawab.Guru-guru
dapat membantu mereka yang bertingkah kasar dengan jalan mencapai keberhasilan
dalam pekerjaan / tugas-tugas sekolah sehingga mereka menjadi anak yang lebih
tenang dan lebuh mudah di tangani. Salah satu yang mendasar yaitu dengan cara
mendorong mereka untuk bersaing dengan diri sendiri.
Apabila ada ledakan-ledakan kemarahan sebaiknya kita memperkecil ledakan emosi tersebut, misalnya dengan jalan tindakan yang bijaksana dan lemah lembut, mengubah pokok pembicaraan dan memulai aktivitas baru. Jika kemarahan siswa tidak juga reda, guru dapat minta bantuan kepada petugas bimbingan dan konseling.
Reaksi yang sering terjadi pada diri remaja terhadap temuan-temuan mereka bahwa kesalahan orang dewasa merupakan tantangan terhadap otoritas orang dewasa. Pendidik terperangkap oleh kemampuan siswa yang baru dalam menentukan / menemukan dan mengangkat ke permukaan tentang kelemahan-kelemahan orang dewasa. Satu cara untuk mengatasinya adalah meminta siswa mendiskusikan atau menulis tentang perasaan-perasaan mereka yang negatif. Untuk menunjukkan kematangan mereka seringkali terdorong untuk menentang otoritas orang dewasa. Cara yang paling baik untuk menghadapi pemberontakan para remaja/ anak adalah mencoba untuk mengerti mereka, yang kedua adalah melakukan segala sesuatu yang dapat dilakukan untuk membantu siswa berhasil berprestasi dalam bidang yang diajarkan.
Jadi terdapat berbagai cara mengendalikan lingkungan untuk menjamin pembinaan pola emosi yang diinginkan dan menghilangkan reaksi-reaksi emosional yang tidak diinginkan sebelum berkembang menjadi kebiasaan yang tertanam kuat.
Apabila ada ledakan-ledakan kemarahan sebaiknya kita memperkecil ledakan emosi tersebut, misalnya dengan jalan tindakan yang bijaksana dan lemah lembut, mengubah pokok pembicaraan dan memulai aktivitas baru. Jika kemarahan siswa tidak juga reda, guru dapat minta bantuan kepada petugas bimbingan dan konseling.
Reaksi yang sering terjadi pada diri remaja terhadap temuan-temuan mereka bahwa kesalahan orang dewasa merupakan tantangan terhadap otoritas orang dewasa. Pendidik terperangkap oleh kemampuan siswa yang baru dalam menentukan / menemukan dan mengangkat ke permukaan tentang kelemahan-kelemahan orang dewasa. Satu cara untuk mengatasinya adalah meminta siswa mendiskusikan atau menulis tentang perasaan-perasaan mereka yang negatif. Untuk menunjukkan kematangan mereka seringkali terdorong untuk menentang otoritas orang dewasa. Cara yang paling baik untuk menghadapi pemberontakan para remaja/ anak adalah mencoba untuk mengerti mereka, yang kedua adalah melakukan segala sesuatu yang dapat dilakukan untuk membantu siswa berhasil berprestasi dalam bidang yang diajarkan.
Jadi terdapat berbagai cara mengendalikan lingkungan untuk menjamin pembinaan pola emosi yang diinginkan dan menghilangkan reaksi-reaksi emosional yang tidak diinginkan sebelum berkembang menjadi kebiasaan yang tertanam kuat.
Aplikasi
Emosi dalam Kehidupan sehari-hari
Dalam
kehidupan sehari-hari factor emosi anak dapat digunakan sebagai bahan
pertimbangan mencerdaskan anak di lingkungan keluarga. Beberapa hal yang
terkait dengan ini dijelaskan sebagai berikut:
1. Proses
emosi dapat dijelaskan dari proses fisiologik, yaitu terjadinya emosi ditandai
oleh adanya perubahan dalam diri (visceral change). Perubahan dalam diri selama
emosi dipengaruhi oleh system syaraf autonomic, kelenjar endokrin, dan system
syaraf pusat. Hypothalamus dan cerebral cortex memiliki peranan penting dalam
proses emosi.
2.
Pada saat terjadi emosi seringkali
terjadi perubahan-perubahan pada fisik , antara lain berupa:
1. Reaksi elektris pada kulit meningkat bila terpesona
2. Peredaran darah bertambah cepat bila marah.
3. Denyut jantung bertambah cepat bila terkejut.
4. Pernafasan; bernafas panjang kalau kecewa
5. Pupil mata; membesar bila marah
6. Liur; mengering kalau takut atau tegang.
1. Reaksi elektris pada kulit meningkat bila terpesona
2. Peredaran darah bertambah cepat bila marah.
3. Denyut jantung bertambah cepat bila terkejut.
4. Pernafasan; bernafas panjang kalau kecewa
5. Pupil mata; membesar bila marah
6. Liur; mengering kalau takut atau tegang.
3. Kondisi
bangkitnya (arousal state) emosi dan motivasi sangat mirip satu sama lain.
Semakin tinggi status bangkitnya, cenderung diikuti oleh semakin tingginya
intensitas dan kuatnya emosi. Meskipun demikian, kebangkitan fisiologik bias
menghasilkan tipe-tipe emosi yang berbeda, tegantung lingkungan dimana
kebangkitan itu terjadi.misalnya saat ingin marah tetapi ada mertua, bentuk
marah menjadi berbeda. Ini artinya proses cerebral yang mempersepsi situasi dan menafsirkan
sensasi selalu bebbasis pada keadaan lingkungan.
Implikasi Emosi
Dengan
penjelasan proses emosi secara umum dan ringkas ini, dapat dipetik sebuah
implikasi bahwa dengan diketahinya emosi dan sebab-sebabnya, dapat dimbil
manfaat atau kegunaannya. Diantaranya:
a). keperluan penelitian dan pengembangan.
contohnya adanya penelitian yang disebut pupilometrik, yaitu suatu studi tentang perubahan ukuran pupil pada manusia. Pupil menjadi lebar bila individu melihat rangsangan yang menarik dan mengerut ketika seseorang berfokus pada objek yang tidak menyenangkan dan membosankan.
contohnya adanya penelitian yang disebut pupilometrik, yaitu suatu studi tentang perubahan ukuran pupil pada manusia. Pupil menjadi lebar bila individu melihat rangsangan yang menarik dan mengerut ketika seseorang berfokus pada objek yang tidak menyenangkan dan membosankan.
b.) keperluan praktis
adanya alat detector bohong. Detector bohong ,
bekerja dengan asumsi bahwa perubahan fisiologik tertentu diikuti oleh
perbuatan bohong. Berbagai perubahan badaniah diukur dengan alat Volygraph yang mana kata-kata netral
atau yang kritikal dengan tujuan tertentu dapat menunjuk pada suatu subjek
kebohongan tertentu. Alat ini tidak akan bekerja apabila orang tidak emosi atau
pada saat orang yang khawatir(anxious)
c.) kegunaan lain
1) pemahaman mengenai emosi yang dikaitkan dengan
aspek kejiwaan lainnya seperti kognisi, memori, motivasi, dsb, bisa menjadi
pendorong untuk meningkatkan kualitas dsiri seseorang, misalnya dalam hal bersikap,
belajar, memehami nak, generasi muda, dsb.
2)Emosi menjadi daya dorong untuk berbuat. Emosi
merupakan kesenangan sendiri dan dapat berfungsi sebagai motif dan demikian
sebaliknya, apabila seseorang tidak puas, akan menjadi motif untuk mencari
alternative lain.
3) ditilik dari segi bahasa ekspresinya dapat
diperkirakan darimana seseorang berasal. Ekspresi emosi sangat ditentukan oleh
konvensi social tentang bagaimana biasanya diekspresikan kepada orang lain.
PENUTUP
Kesimpulan
:
Kematangan dalam belajar serta kondisi-kondisi kehidupan atau kultur merupakan faktor-faktor emosi akan mempengaruhi tingkah laku anak.
Dalam kaitannya dengan penyelenggaraan pendidikan, pendidik dapat melakukan beberapa upaya dalam pengembangan emosi anak / remaja antaralain : konsisten dalam pengelolaan kelas, mendorong anak bersaing dengan diri sendiri, pengelolaan diskusi kelas yang baik, mencoba memahami anak didik dan membantu siswa untuk berprestasi.
Pola emosi pada remaja sama dengan pola emosi pada anak-anak , yang membedakan adalah pada rangsangan yang membnagkitkan emosi dan derajatnya serta pengendalian remaja terhadap ungkapan emosi mereka.
Upaya-upaya yang dapat dilakukan dalam rangka pengembangan nilai, moral dan sikap anak / remaja adalah dengan menciptakan komunikasi disamping memberi informasi dan anak diber kesempatan untuk berpartisipasi untuk aspek moral, serta menciptakan system lingkungan yang serasi.
Kematangan dalam belajar serta kondisi-kondisi kehidupan atau kultur merupakan faktor-faktor emosi akan mempengaruhi tingkah laku anak.
Dalam kaitannya dengan penyelenggaraan pendidikan, pendidik dapat melakukan beberapa upaya dalam pengembangan emosi anak / remaja antaralain : konsisten dalam pengelolaan kelas, mendorong anak bersaing dengan diri sendiri, pengelolaan diskusi kelas yang baik, mencoba memahami anak didik dan membantu siswa untuk berprestasi.
Pola emosi pada remaja sama dengan pola emosi pada anak-anak , yang membedakan adalah pada rangsangan yang membnagkitkan emosi dan derajatnya serta pengendalian remaja terhadap ungkapan emosi mereka.
Upaya-upaya yang dapat dilakukan dalam rangka pengembangan nilai, moral dan sikap anak / remaja adalah dengan menciptakan komunikasi disamping memberi informasi dan anak diber kesempatan untuk berpartisipasi untuk aspek moral, serta menciptakan system lingkungan yang serasi.
DAFTAR PUSTAKA
Cooper Cary & Makin Peter, 1995.
Psikologi Untuk Manajer. Jakarta: Arcan.
Harmoko, R., Agung, 2005. Kecerdasan
Emosional. Binuscareer.com
Goleman,
Daniel. 1997. Emotional Intelligence. Jakarta : PT Gramedia Pustaka
Utama
http://www.jilc-makassar.com/bagaimana-mengendalikan-emosi-kita/
Gunarsa,
Singgih, “Dasar dan Teori Perkembangan anak”. Jakarta : PT. BPK Gunung Mulia 1991.
, “Perkembangan Anak”( Alih bahasa Martasari Tjandrasa & Muslichah Zarkasih) Jakarta: Erlangga, 1990
sitasusela-simptangga.blogspot.com/.../pengertian-iq-eq-dan-sq.html
, “Perkembangan Anak”( Alih bahasa Martasari Tjandrasa & Muslichah Zarkasih) Jakarta: Erlangga, 1990
sitasusela-simptangga.blogspot.com/.../pengertian-iq-eq-dan-sq.html
Sunarto,
Agung Hartono “ Perkembangan Peserta Didik “ Departemen Pendidikan dan Kebudayaan,
1994.
Uno, Hamzah B “Perencanaan Pembelajaran” .
Jakarta: PT Bumi Aksara,2008
[1]
Semiawan. C. Perspektif Pendidikan Anak Berbakat. (Jakarta: Grasindo,
1999), hlm. 41
[2] Kaphin
& Sadock, Emotional Quotient. (New York: McGraw-Hill. 1992), hlm. 72
[3] Goleman
Daniel. Emotional Intelligence. (New York: McGraw-Hill. 1995)hlm. 36
[4]
Silverman. Psychology, (New York: Appleton-Century-Crotts: 1986), hlm.
124
[5] Semiawan.
C. Perspektif Pendidikan Anak Berbakat. (Jakarta: Grasindo, 1999), hlm.
41
[6]
Djuretna AIM. Moral dan Religi. (Yogyakarta: Kanisius, 1994), hlm. 97
[7]
Reckless. Walter. C., The Crime Problem, third edition (New
York:Appleton Century-Graft. Inc: 1981), hlm. 135
0 komentar: