Makalah Nikah Via Vidio Call
I.
LATAR BELAKANG
Perkembangan teknologi dari hari kehari
semakin pesat dan memasyarakat. Selain penemuan-penemuan (Discovery) dibidang
kedokteran, kimia dan fisika, telah banyak pula ditemukan teknologi-teknologi
baru dibidang konstruksi, transportasi dan yang tak kalah penting penemuan
dibidang komunikasi; sebagai contohnya adalah Internet, telepon,
teleconference, handphone/hp, telegram, telegrap, Pager, HT (Handy Talky),
Faximile dan lain sebagainya. Wartel (warung telephone), warnet (warung
internet) dan teleconference tumbuh berkembang bagaikan jamur dimusim semi.
Sehingga tidak heran jika media komunikasi semacam ini kini mulai sangat akrab
dan kental dengan aktivitas kehidupan masyarakat kita sehari-hari. Mulai dari
aktivitas pergaulan (persahabatan), pemberitaan, jual beli, lelang, perjanjian,
hiburan, dan bisnis. Bahkan ada sebagian masyarakat yang menggunakan untuk
melakukan akad pernikahan jarak jauh.
Dilihat dari sisi kepraktisan,
pernikahan via media komunikasi memang dipandang lebih efektif dan efisien bagi
calon pengantin yang berjauhan. Selain dapat menghemat waktu, karena salah satu
calon mempelai berada di luar negeri, tentunya juga dapat menghemat biaya
transportasi. Disela-sela perkembangan internet dan telepon, lahirlah penemuan
baru yang menggabungan antara televisi dan telepon yang disebut Teleconference.
Dengan media ini komunikan (orang yang berbicara) dapat menyampaikan pesannya
kepada recipient (lawan bicara) tanpa hanya mendengarkan suara (audio) tapi
juga bisa melihat fisiknya (visual). Dengan segala bentuk kecanggihan dan
fasilitas dari teknologi ini, customer (konsumen) dapat berkomunikasi dengan
model apapun yang diinginkan seperti berhadapan langsung, sekaligus menyimpan
data-data yang dianggap penting.
Namun dalam sisi lain, internet dan
telepon di Indonesia masih mengalami perdebatan terkait penggunaanya dalam
penyelenggaraan transaski perjanjian, baik yang berupa perdagangan maupun
proses pernikahan . Selain itu alat komunikasi seperti telepon dan lainnya
masih belum cukup kuat untuk dijadikan sebagai alat bukti telah terjadi
perbuatan hukum. Sedangkan dari segi hukum Islam juga terjadi perbedaan hukum
tentang transaksi yang dilakukan melalui sepucuk surat tanpa kehadiran kedua
belah pihak. Dalam madzhab Syafi'iyyah sendiri terjadi perbedaan antara Imam
Syafi'i dan para pengikutnya. Menurut pendapat yang shahih transaksi melalui
sepucuk surat tanpa kehadiran kedua belah pihak tidak sah, karena surat saja
tidak cukup kuat sebagai alat bukti telah dilakukannya perbuatan hukum. Sedangkan
menurut ulama Hanafiyah mengatakan bahwa akad nikah itu sah dilakukan dengan
surat karena surat adalah Khithab (al-khitab min al-ghaib bi manzilah al-khitab
min al-hadhir) dengan syarat dihadiri dua orang saksi, dan pendapat ini juga
didukung sebagaian ulama Syafi'iyyah. Sementara pendapat Jumhur Ulama’ bahwa
nikah adalah sebuah mitsaq ghalizh (tali perjanjian yang kukuh dan kuat)
bertujuan menciptakan keluarga sakinah, mawaddah dan rahmah. Oleh karena itu
pernikahan harus dihadiri secara langsung oleh kedua belah pihak mempelai, wali
nikah dan dua orang saksi, sehingga tidak dikhawatirkan kedua mempelai akan
mengingkari pelaksanaan pernikahan tersebut.
Seiring dengan
kemajuan teknologi, jarak bukanlah lagi menjadi halangan bagi orang yang ingin
berkomunikasi. Komunikasi antara dua pihak atau lebih secara face-to-face
kini dimungkinkan dengan menggunakan teknologi video call dalam jaringan
3G melalui perangkat handphone. Berkenaan dengan hal itu, bagaimanakah hukumnya
melakukan akad pernikahan antara wali dengan pihak mempelai pria melalui video
call?
II. RUKUN DAN SYARAT PERNIKAHAN
Membahas tentang hukum pernikahan via telekomference tidak bisa lepas dari pembahasan rukun dan syarat pernikahan. Meskipun para ulama terjadi perbedaan pendapat tentang rukun-rukun dan syarat-syarat pernikahan, namun pada dasarnya mereka sepakat bahwa shighat ijab qabul adalah salah satu dari rukun yang harus dilaksanakan. Selain itu, Hanafiyyah, Syafi'iyyah, dan Hanabillah sepakat bahwa pernikahan harus dihadiri oleh dua orang saksi, kecuali Malikiyyah yang tidak mensyaratkan adanya saksi dalam akad perkawinan. Namun sebaliknya, beliau mensyaratkan adanya i'lan (pemberitahuan) pernikahan kepada halayak umum. Meskipun selain ijab qabul dan saksi masih ada rukun-rukun pernikahan yang lain, namun dua rukun tersebut sangat perlu adanya pembahasan secara mendetail dan mendasar untuk dapat menjawab dan menghukumi pernikahan via telekomference. Sebab pernikahan via telekomference erat sekali hubungannya dengan masalah shighat dan saksi.
Akad nikah sah secara syar’i jika
memenuhi rukun-rukun dan syarat-syaratnya. Rukun-rukun nikah menurut jumhur
ulama ada 5, yaitu:
- Ada mempelai pria
- Ada mempelai wanita
- Ada wali nikahnya
- Ada dua orang saksi, dan
- Akad ijab qabul
Masing-masing dari rukun tersebut
mempunyai syarat-syarat tertentu. Khusus untuk ijab qabul, syarat-syaratnya
adalah sebagai berikut:
A. SYARAT-SYARAT SHIGHAT (IJAB QABUL)
Dalam pembahasan masalah ijab qabul, para ulama mensyaratkan terhadap ijab qabul dengan beberapa syarat, yaitu;
1. Ijab Qabul harus dilaksanakan dalam satu majlis (satu tempat).
Pengertian satu majlis oleh jumhur ulama (mayoritas) difahamkan dengan kehadiran mereka dalam satu tempat secara fisik. Pendapat ini dikeluarkan oleh ulama Malikiyah, Syafi’iyah dan Hanabilah, dan mereka juga pendapat bahwa surat adalah kinayah. Hal ini beda dengan Hanafiyyah, beliau memahami satu majlis bukan dari segi fisik para pihak, namun hanya ijab dan qabul para pihak harus dikatakan di satu tempat dan secara berkontiu. Dari pendapat ini, Hanafiyyah memperbolehkan akad nikah melalui surat, asalkan surat tersebut dibacakan didepan saksi dan pernyataan dalam surat segera dijawab oleh pihak-pihak. Menurut Hanafi, surat yang dibacakan di depan saksi dapat dikatakan sebagai ijab dan atau qabul dan harus segera dijawab. Dari pendapat Hanafiyyah tersebut, menurut KH. Sahal Mahfudz dapat dianalogkan bahwa pernikahan dianggap sah hukumnya dilakukan lewat media komunikasi seperti internet, teleconference dan faximile. Sedangkan menurut pendapat yang shahih (ada yang mengatakan al-Madzhab) dari Ulama syafi'iyyah, ijab qabul tidak boleh dilakukan melalui surat-menyurat. Baik ijab kabul dalam transaksi muammalat lebih-lebih dalam pernikahan. Mereka beralasan bahwa ijab kabul adalah suatu sarana untuk menjukkan kedua belah pihak saling ridla akan adanya transaksi, dan ridla tidak bisa diyakinkan hanya melalui sepucuk surat. Selain itu, surat tidak cukup kuat dijadikan alat bukti oleh saksi apa bila telah terjadi persengketaan tentang akad tersebut. Solusi yang ditawaran oleh Syafi'iyyah adalah dengan mewakilkan akad pernikahan kepada seseorang, kemudian wakil tersebut hadir dalam majlis akad pernikahan. Jika demikian (mewakilkan akad), maka para ulama sepakat bahwa transaksi yang diwakilkan hukumnya sah. Rasulullah SAW sendiri pernah mewakilkan pernikahannya kepada Amr bin Umiyyah dan Abu Rafi'.
Dalam pembahasan masalah ijab qabul, para ulama mensyaratkan terhadap ijab qabul dengan beberapa syarat, yaitu;
1. Ijab Qabul harus dilaksanakan dalam satu majlis (satu tempat).
Pengertian satu majlis oleh jumhur ulama (mayoritas) difahamkan dengan kehadiran mereka dalam satu tempat secara fisik. Pendapat ini dikeluarkan oleh ulama Malikiyah, Syafi’iyah dan Hanabilah, dan mereka juga pendapat bahwa surat adalah kinayah. Hal ini beda dengan Hanafiyyah, beliau memahami satu majlis bukan dari segi fisik para pihak, namun hanya ijab dan qabul para pihak harus dikatakan di satu tempat dan secara berkontiu. Dari pendapat ini, Hanafiyyah memperbolehkan akad nikah melalui surat, asalkan surat tersebut dibacakan didepan saksi dan pernyataan dalam surat segera dijawab oleh pihak-pihak. Menurut Hanafi, surat yang dibacakan di depan saksi dapat dikatakan sebagai ijab dan atau qabul dan harus segera dijawab. Dari pendapat Hanafiyyah tersebut, menurut KH. Sahal Mahfudz dapat dianalogkan bahwa pernikahan dianggap sah hukumnya dilakukan lewat media komunikasi seperti internet, teleconference dan faximile. Sedangkan menurut pendapat yang shahih (ada yang mengatakan al-Madzhab) dari Ulama syafi'iyyah, ijab qabul tidak boleh dilakukan melalui surat-menyurat. Baik ijab kabul dalam transaksi muammalat lebih-lebih dalam pernikahan. Mereka beralasan bahwa ijab kabul adalah suatu sarana untuk menjukkan kedua belah pihak saling ridla akan adanya transaksi, dan ridla tidak bisa diyakinkan hanya melalui sepucuk surat. Selain itu, surat tidak cukup kuat dijadikan alat bukti oleh saksi apa bila telah terjadi persengketaan tentang akad tersebut. Solusi yang ditawaran oleh Syafi'iyyah adalah dengan mewakilkan akad pernikahan kepada seseorang, kemudian wakil tersebut hadir dalam majlis akad pernikahan. Jika demikian (mewakilkan akad), maka para ulama sepakat bahwa transaksi yang diwakilkan hukumnya sah. Rasulullah SAW sendiri pernah mewakilkan pernikahannya kepada Amr bin Umiyyah dan Abu Rafi'.
2. Kesesuaian antara ijab dan qabul. Diucapkan
dengan kata-kata tazwij dan inkah,).
Misalnya wali mengatakan: “Saya nikahkan anda dengan putri saya Khadijah..”, kemudian calon suami menjawab: “Saya terima nikahnya Fatimah …”, maka nikahnya tidak sah, karena antara ijab dan qabul tidak sesuai. Kecuali dari Malikiyyah yang memperbolehkan ijab qabul dengan memakai kata-kata hibbah (pemberian
Misalnya wali mengatakan: “Saya nikahkan anda dengan putri saya Khadijah..”, kemudian calon suami menjawab: “Saya terima nikahnya Fatimah …”, maka nikahnya tidak sah, karena antara ijab dan qabul tidak sesuai. Kecuali dari Malikiyyah yang memperbolehkan ijab qabul dengan memakai kata-kata hibbah (pemberian
3. Yang melaksanakan ijab (wali) tidak
menarik kembali ijabnya sebelum qabul dari pihak lain (calon suami). Jika
sebelum calon suami menjawab wali telah menarik ijabnya, maka ijab dan qabul
seperti ini tidak sah.
4. Berlaku seketika, maksudnya nikah
tidak boleh dikaitkan dengan masa yang akan datang. Jika wali mengatakan: “Saya
nikahkan anda dengan putri saya Khadijah besok atau besok lusa”, maka ijab dan
qabul seperti ini tidak sah.
Maksud dari syarat
pertama yang menyebutkan bahwa ijab qabul harus berada dalam satu Majlis
maksudnya adalah proses ijab dan qabul harus terjadi dalam satu waktu. Suatu
akad ijab dan qabul disebut dalam satu Majlis apabila setelah pihak wali
selesai mengucapkan ijab, calon suami segera mengucapkan qabul. Diantara
pernyataan ijab dan qabul tidak boleh ada jeda waktu yang terlalu lama, sebab
jika terlalu lama maka qabul tidak dianggap sebagai jawaban ijab. Jeda yang
lama mengiindikasikan calon suami menolak untuk menyatakan qabul. Antara ijab
dan qabul tidak boleh diselingi dengan perkataan yang tidak terkait dengan
nikah sedikit pun.
Dari penjelasan di
atas, ijab dan qabul tidak harus dilakukan antara dua pihak dalam satu tempat.
Para ulama imam madzhab sepakat tentang sahnya akad ijab dan qabul yang
dilakukan oleh dua pihak yang berjauhan melalui sarana surat atau utusan.
Misalnya ijab dan
qabul dilakukan melalui surat atau utusan dari wali yang dikirimkan kepada
calon suami. Jika akad ijab dan qabul melalui surat, yang dimaksud dengan
Majlis akad yaitu tempat suami membaca surat yang berisi ijab dari wali di
hadapan para saksi, dan jika calon suami setelah membaca surat yang berisi ijab
dari wali segera mengucapkan qabul, maka akad nikah dipandang dilakukan dalam
satu Majlis.
Jika akad ijab dan
qabul melalui utusan, yang dimaksud dengan Majlis akad yaitu tempat utusan
menyampaikan ijab dari wali pada calon suami di hadapan para saksi, dan jika
setelah utusan menyampaikan ijab dari wali, calon suami segera mengucapkan
qabul, maka akad dipandang telah dilakukan dalam satu Majlis.
Pada zaman dahulu,
akad antara dua pihak yang berjauhan hanya terbatas melalui alat komunikasi
surat atau utusan. Sekarang, alat komunikasi berkembang pesat dan jauh lebih
canggih. Seseorang dapat berkomunikasi melalui internet, telepon, atau melalui tele-conference
secara langsung dari dua tempat yang berjauhan. Alat komunikasi telepon atau
handphone, dahulu hanya bisa dipergunakan untuk berkomunikasi lewat suara
(berbicara) ataupun SMS. Saat ini teknologi HP semakin canggih, di antaranya
adalah fasilitas jaringan 3G. Salah satu layanan yang bisa dimanfaatkan melalui
fasilitas jaringan 3G ini adalah video call. Melalui video call
seseorang dapat berkomunikasi langsung lewat suara dan melihat gambar lawan
bicara.
Oleh sebab itulah,
jika akad ijab dan qabul melalui surat atau utusan disepakati kebolehannya oleh
ulama madzhab, maka akad ijab dan qabul menggunakan fasilitas jaringan 3G,
yakni melalui video call lebih layak untuk dibolehkan. Dengan surat atau
utusan sebenarnya ada jarak waktu antara ijab dari wali dengan qabul dari calon
suami. Sungguhpun demikian, akad melalui surat dan utusan masih dianggap satu
waktu (satu Majlis). Sedangkan melalui video call, akad ijab dan qabul
benar-benar dilakukan dalam satu waktu. Dalam akad ijab qabul melalui surat
atau utusan, pihak pertama yakni wali tidak mengetahui langsung terhadap
pernyataan qabul dari pihak calon suami. Sedangkan melalui video call,
lebih baik dari itu, yakni pihak wali dapat mengetahui secara langsung (baik
mendengar suara maupun melihat gambar) pernyataan qabul dari pihak calon suami,
demikian pula sebaliknya. Kelebihan video call yang lain, para pihak yakni wali
dan calon suami mengetahui secara pasti kalau yang melakukan akad ijab dan
qabul betul-betul pihak-pihak terkait. Sedangkan melalui surat atau utusan,
bisa saja terjadi pemalsuan.
Dengan demikian akad
ijab dan qabul melalui video call sah secara syar’i, dengan catatan
memenuhi syarat-syarat akad ijab dan qabul yang lain, serta memenuhi
rukun-rukun dan syarat-syarat sah nikah yang lain. Apabila akad ijab dan qabul
melalui video call sah antara wali dengan calon suami, maka sah juga
untuk akad tawkil (mewakilkan) dari pihak wali kepada wakil jika wali
mewakilkan akad nikah pada orang lain. Bahkan sah juga akad ijab dan qabul
melalui video call antara wakil dengan mempelai pria.
Sekalipun demikian,
alangkah baiknya akad ijab dan qabul dilakukan secara normal dengan bertemunya
masing-masing pihak secara langsung. Ijab dan qabul dilakukan via video call
apabila memang diperlukan karena jarak yang berjauhan dan tidak memungkinkan
untuk masing-masing pihak bertemu secara langsung.
B.
SYARAT-SYARAT SAKSI PERNIKAHAN
Seperti
yang telah kami sampaikan di atas, bahwa Jumhur Ulama sepakat pernikahan tidak
sah kecuali dengan hadirnya saksi-saksi. Kecuali ulama Malikiyyah, mereka tidak
mensyaratkan adanya saksi, namun pernikahan wajib diumumkan kepada halayak
umum. Bagi ulama yang mewajibkan adanya saksi mensyaratkan sebagai berikut;
1. Aqil Baligh
2. Merdeka
3. Islam
4. Dapat mendengar dan melihat
1. Aqil Baligh
2. Merdeka
3. Islam
4. Dapat mendengar dan melihat
Dari empat syarat
daripada saksi di atas, hanya satu yang akan kita bahas bersama yaitu syarat
mendengar dan melihat. Mendengar dan melihat adalah dua komponen yang harus
bersama-sama. Tidak cukup hanya mendengar suara pihak-pihak tanpa adanya wujud
secara fisik, begitu juga hanya melihat wujud fisik para pihak, namun tidka
mendengar suara ijab qabulnya.
Dari
syarat tersebut, Syafi'iyyah sepakat menolak bahwa akad nikah yang dilakukan
melalui pesawat telepon tidak sah, karena para saksi tidak melihat fisik para
pihak. Hal ini karena tujuan saksi adalah mengantisipasi terjadinya
persengketaan akad, dan mereka (saksi) tidak dapat diterima jika hanya
mendengar suara tanpa rupa. Pendapat ini juga ditegaskan oleh Muhammad Abu
Bakar Syatha, bahwa saksi harus melihat dan mendengar ijab qabul secara
langsung keluar dari mulut para pihak. Alasan dari pendapat ini adalah, bahwa
seorang saksi harus dapat meyakini hal yang disaksikan dan tidak boleh hanya
prasangka, sebab mendengar suara tanpa melihat rupa tidak dapat menimbulkan suatu
keyakinan dalam hati saksi.
Namun
ada yang menarik dari pendapat Ibnu Hajar Al-Astqolani, jika saksi meyakini
bahwa yang ia dengar adalah betul suara para pihak dengan adanya
indikasi-indikasi, maka hukumnya diperbolehkan. Indikasi tersebut seperti
contoh, ia meyakini bahwa di dalam kamar hanya ada satu orang bernama Zaed
dikarenakan ia sendiri telah memeriksa ke dalam kamar. Kemudian ia mendengar
suara dari dalam kamar tersebut dan meyakini suara itu adalah suara Zaed. Jika
demikian maka kesaksian saksi dengan hanya mendengar suara di dalam kamar
diperbolehkan, sebab dalam benaknya ada keyakinan.
Dari
pendapat Ibnu Hajar tersebut dapat kita tarik benang merah bahwa, jika yang
hadir dalam majlis tersebut (termasuk saksi) meyakini karena adanya indikasi-indikasi
kuat bahwa yang sedang berbicara atau yang sedang dilihat dalam telekomference
memang pihak yang bersangkutan, maka akad pernikahan hukumnya diperbolehkan dan
sah.
KESIMPULAN
Sebuah pernikahan merupakan benang tipis antara ibadah dan
kemaksiatan, setiap kekeliruan dalam pernikahan bisa mengakibatkan perzinaan
diantara dua orang. karena itu harus dijalankan secara berhati-hati dan tidak
sembrono.
0 komentar: